- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Belajar Ketahanan Pangan dari Kampung Adat Cireundeu
Keterangan Gambar : Warga menyelesaikan produksi tepung yang terbuat dari singkong di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
SEBUAH papan petunjuk bertuliskan
"Bale", "Masjid", dan "Sentra Oleh-oleh" langsung
menyergap mata melengkapi sebuah papan berlatar hitam dengan gambar menampilkan
rute jalan, gambar gunung, dan lainnya dengan tulisan berhuruf kapital pada
bagian atas "Peta Wisatawan Kampung Cireundeu".
Sebelumnya ucapan selamat datang dalam bahasa Sunda yang
ditampilkan pada sebuah papan kayu besar bersama monumen Meriam Sapu Jagat
sebagai simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan siap menyambut siapa saja yang
memasuki Cireundeu, kampung adat yang berada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan
Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Mengutip website resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Cimahi
disebutkan bahwa Cireundeu berasal dari nama pohon reundeu yang memiliki
kandungan untuk bahan obat herbal dan banyak tumbuh di tempat ini. Kampung
Cireundeu berada pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kampung
ini telah ada sejak tahun 1700-an dan berdiri di atas lahan seluas 64 hektare
(ha) terdiri dari 60 ha sebagai kawasan pertanian dan 4 ha lainnya merupakan
permukiman warga.
Baca Lainnya :
- Kacapi Buhun hingga Carita Pantun, Keluhuran Nilai Masyarakat Banten0
- Sapta Pala SMAN 7 Jakarta Kirim Relawan ke Lokasi Bencana Alam di Sukabumi 0
- Perkuat Toleransi Beragama, IPARI Karanganyar Gelar Bakti Religi Membersihkan Rumah Ibadah0
- Wamentan Dorong Optimasi Lahan Rawa 106.000 Ha dan 150.000 Ha Cetak Sawah Baru di Sumsel0
- Lucu dan Gemoynya Anak Badak Jawa Menyusu ke Induknya0
Di kampung ini juga masih terdapat hutan adat seluas 80 ha
yang selalu dijaga kelestariannya dan menjadi penampung air alami bagi kampung
yang berpenduduk 1.200 jiwa atau sekitar 367 kepala keluarga (KK) terdiri dari
650 laki-laki dan 550 perempuan dan tersebar di 3 Rukun Tetangga (RT).
Setelah 20 meter melewati gerbang masuk, kita langsung
disambut bangunan berbahan kayu dan bambu yakni Saung Baraya dan Bale Saresehan
yang biasa digunakan warga Cireundeu sebagai tempat pertemuan atau pagelaran
kesenian. Luas kedua bangunan sekitar 200 meter persegi. Jika bulan Sura, kedua
bale ini dipakai untuk menggelar pertunjukan wayang golek sebagai bentuk syukur
kepada Sang Pecipta atas semua yang telah diterima.
Rumah-rumah di sini memiliki pintu samping yang harus
menghadap ke arah timur dengan tujuan agar cahaya matahari masuk ke bumi.
Penduduk Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan seperti halnya masyarakat
Suku Baduy, Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok, dan Kampung Naga. Masyarakat
Cireundeu memiliki kesenian gondang, karinding, serta angklung buncis yang
biasanya ditampilkan dalam ritual upacara adat tertentu seperti upacara 1 Sura
atau sewaktu menyambut tamu.
Mereka juga masih memegang teguh adat istiadat dan budaya
leluhur. Salah satunya adalah pesan yang berbunyi teu boga sawah asal boga
pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal
dahar, teu dahar asal kuat. Artinya, tidak punya sawah asalkan punya padi,
tidak punya padi asalkan punya beras, tidak punya beras asalkan masak nasi,
tidak punya nasi asalkan makan, tidak makan asalkan kuat.
Petuah leluhur ini membuka sedikit rahasia yang dipegang
masyarakat yaitu tidak mengonsumsi nasi. Sebagai gantinya, mereka makan rasi
yaitu sejenis nasi yang diolah dari singkong (Manihot esculenta crantz) atau
ketela pohon. Masyarakat Kampung Cireundeu telah bertahan selama satu abad
tanpa nasi. Sebagai gantinya, mereka mengonsumsi singkong sebagai ajaran
warisan leluhur.
Mengutip Badan Pangan Nasioal, disebutkan bahwa singkong
memiliki kandungan serat yang tinggi dan rendah gula sehingga dapat mengurangi
risiko diabetes. Serat adalah komponen penting dalam mengatur penyerapan gula
dan memperlambat peningkatan kadar glukosa dalam darah setelah konsumsi
makanan. Dalam 100 gram singkong rebus ada sekitar 2,3 gram serat sedangkan
pada 100 gram nasi putih hanya mengandung sekitar 0,4 gram serat.
Itulah sebabnya mengonsumsi 1,5 potong singkong setara
dengan makan 1 porsi nasi. Rasa kenyang dari konsumsi ketela pohon ini bertahan
lebih lama dibandingkan dengan nasi. Sehingga masyarakat adat cukup makan 2
kali sehari saja. Secara ekonomi, mereka tidak terpengaruh oleh gejolak
fluktuasi atau naik-turunnya harga beras. Apalagi singkong bisa ditanam
sepanjang tahun dan tidak bergantung kepada cuaca seperti halnya tanaman padi.
Pemilihan singkong sebagai bahan konsumsi dasar masyarakat
Cireundeu bukan baru sekarang ini saja karena mereka sudah memulainya sejak
1924 silam alias 1 abad lalu. Kemampuan masyarakat setempat untuk bertahan
dalam pola konsumsi yang tidak biasa di tengah kebiasaan masyarakat umum yang
masih bergantung kepada nasi bukan tanpa sebab. Ada sebuah kisah dibalik
kearifan lokal yang masih dipertahankan itu dan memberi inspirasi bagi banyak
orang.
Semua dimulai pada 1918 tatkala Kampung Cireundeu mengalami
masa-masa sulit dalam menghadapi kekeringan dan membuat terjadinya paceklik
pangan terutama tanaman padi yang tidak dapat tumbuh. Singkong kemudian menjadi
pilihan masyarakat setempat sebagai makanan pokok. Lewat sebuah kesepakatan
adat pada 1924, seluruh penduduk kampung akhirnya bermufakat untuk menjadikan
makan nasi sebagai pantangan dan sebagai gantinya adalah singkong.
Masyarakat adat mengolah singkong dengan cara digiling,
diendapkan, dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampas dari olahan sagu yang
dikeringkan juga dibuat menjadi rasi. Bukan itu saja karena singkong ikut
diolah menjadi berbagai camilan seperti opak, egg roll, cireng, simping, bolu,
bahkan dendeng kulit singkong yang dikemas dan dijual sebagai oleh-oleh.
Tidak hanya sebagai makanan, singkong kemudian menjadi
simbol ketahanan dan kemandirian masyarakat Cireundeu. Singkong menjadi
penyelamat pangan pada era tersebut. Tradisi itu terus berlangsung hingga
sekarang meski jumlah penduduk yang mengonsumsinya tak lagi mencakup seluruh
kampung. Sepintas, mengonsumsi singkong dianggap kampungan dan menurunkan
derajat seseorang meskipun seiring berjalan waktu pandangan tadi perlahan mulai
berubah.
Banyak orang mulai tertarik dengan keunikan pola konsumsi
yang dikembangkan oleh masyarakat Cireundeu dan berkonsep ketahanan pangan.
Mereka datang ke Cireundeu untuk belajar tentang konsep tersebut yang
dipertahankan hingga 1 abad lamanya. Menariknya lagi, konsep ketahanan pangan
ala Cireudeu ini dibarengi prinsip kesadaran untuk tetap menjaga keseimbangan
hidup dengan alam yang diajarkan dan diwariskan secara adat.
Lantaran banyaknya pihak seperti pelajar, mahasiswa,
peneliti, masyarakat umum hingga wisatawan mancanegara yang ingin belajar
konsep ketahanan pangan membuat tetua adat sepakat pada 2010 menjadikan Kampung
Cireundeu sebagai destinasi dan desa wisata. Masyarakatnya begitu bangga
mengenalkan kepada pihak luar mengenai kemandirian pangan yang mereka jalankan
dari generasi ke generasi.
Kemandirian itu pula yang membuat mereka tidak khawatir atau
alergi untuk membuka diri kepada pihak luar. Buktinya, perlengkapan elektronik
seperti televisi atau ponsel sudah banyak dimiliki oleh warga kampung dan
menjadi pemandangan lumrah. Begitu pula bentuk bangunan rumah yang banyak
bertembok semen dan bata dengan atap genteng meski masih ada pula yang berdinding
bambu dan beratapkan ijuk.
Abah Widi selaku ais pangampih atau kepala adat Kampung
Cireundeu berharap ilmu tentang ketahanan pangan yang ada di Cireundeu dapat
disebarkan ke daerah-daerah lain, agar masyarakat Indonesia tidak terus
bergantung pada beras impor, melainkan kembali memanfaatkan potensi lokal yang
tersedia di sekitar mereka. Pria 60 tahun ini seperti dikutip dari Antara
berkeinginan agar tidak ada lagi orang yang berbicara kelaparan karena
tergantung dengan beras.
Kisah ketahanan pangan dari Kampung Cireundeu ini berbuah
manis sewaktu pemerintah pusat serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi
Jabar menetapkan bahwa pola mengonsumsi rasi itu bersama tradisi Tutup Taun
Ngemban Taun 1 Sura sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Keputusan itu
diterbitkan setelah melalui berbagai kajian oleh tiga akademisi yang jadi
bagian dari tim WBTB tersebut.
Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jawa Barat Febiyani
meminta masyarakat setempat terus menjaga tradisi itu seperti saat ini telah
mencapai 1 abad lamanya. "Dua tradisi ini harus diturunkan ke anak
keturunan kita, khususnya di Cireundeu. Wajib dirawat dan dilestarikan. Jadi
setelah ditetapkan, ada tanggung jawab di baliknya," kata Febiyani.
Kampung Cireundeu telah mengajarkan banyak hal, terutama
tentang pentingnya ketahanan pangan dan bagaimana sebuah komunitas dapat
bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Semoga kita tetap
bisa menjaga keberlangsungan alam dengan memanfaatkannya sesuai kebutuhan serta
tidak merusaknya.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf
Sumber: Indonesia.go.id