Susu: Sapi dan Sastra

By PorosBumi 02 Des 2024, 09:29:07 WIB Tilikan
Susu: Sapi dan Sastra

Bandung Mawardi

Bapak Rumah Tangga dan Tukang Kliping

 

Baca Lainnya :

PADA suatu masa, iklan-iklan dalam majalah anak, keluarga, dan umum menampilkan binatang besar. Binatang tampak anggun dan santun. Iklan-iklan memang mengharuskan memikat perhatian mata berlanjut imajinasi. Sapi menjadi binatang istimewa dalam iklan mengajak anak-anak di seantero Indonesia agar gemar minum susu. Gambar sapi dilengkapi gambar anak sedang minum susu atau berpenampilan seperti profesor, dokter, dan sarjana.

Masa depan anak sedang disusun dengan kebiasaan minum susu setiap hari. Susu dihasilkan oleh sapi. Anak-anak itu beruntung seperti mendapat “mukjizat” susu meski mereka tak mau disebut “anak sapi”. Iklan-iklan masa lalu itu sangat mengesankan. Iklan di halaman cetak sudah memberi pikat. Iklan tampil di televisi menghadirkan sapi bergerak dan bersuara makin memberi bujukan.

Di Indonesia, imajinasi kecerdasan akibat susu diterima jutaan orang. Keluarga-keluarga mendefinisikan diri dengan ketersediaan susu di atas meja. Anak-anak dibiasakan minum susu sambil mengangankan kesehatan dan taraf pengetahuan bakal meningkat. Di keseharian, anak-anak melihat kemasan susu, bukan sapi. Mereka minum susu dalam gelas tanpa harus berada di padang rumput atau kandang.

Pada masa dewasa, keinginan mengetahui susu dan sapi memerlukan bacaan atau tontonan ilmiah dari pelbagai sumber. Sapi memang menghasilkan susu. Para peminum susu tak selalu berasal dari sapi. Orang-orang mengetahui sekian jenis susu, tak cuma susu sapi. Pengetahuan tentang fauna terus bertambah untuk memastikan nasib sapi dan khasiat susu biasa dikonsumsi manusia.

Sapi itu India. Kita sedang mengembara dalam pengetahuan di negeri jauh. Di buku berjudul Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019), Marvin Harris menjelaskan sapi suci di Indonesia. pemujaan atau pemuliaan memiliki dampak dalam pertanian, religiositas, dan pereknomian negara. “Seorang petani yang memiliki seekor sapi betina berarti memiliki ‘pabrik’ untuk membuat sapi,” tulis Marvin Harris. Pembedaan dilakukan untuk sapi jantan digunakan membajak di sawah dan sapi betina “melanggengkan” keberadaan sapi.

Di situ, ada masalah susu membedakan hasrat peternakan di India dan Amerika Serikat. Marvel Harris menerangkan: “… petani India bisa menolerir sapi yang hanya menghasilkan 500 pon susu per tahun. Jika fungsi ekonomis utama sapi zebo adalah memperanakkan binatang jantan pembajak sawah, maka tidak ada gunanya membandingkannya dengan sapi khusus perahan Amerika Serikat, yang fungsi utamanya menghasilkan susu.

Namun, tetap saja, susu yang dihasilkan oleh sapi zebu memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan gizi banyak keluarga miskin. Bahkan, sejumlah kecil produk susu dapat memperbaiki kesehatan orang-orang yang terpaksa bertahan hidup di ambang kelaparan.” Di India, sapi tak selalu susu. Pemahaman tentang sapi dipengaruhi agama.

Di pelbagai negara, peternakan sapi menghasilkan susu dianggap meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan kenikmatan. Indonesia pun ingin menjadi negara tercatat penghasil susu dalam kebutuhan dunia. Ikhtiar sering dikalahkan negara-negara besar saat jutaan orang di Indonesia mulai gemar dan “ketagihan” minum susu. Pengisahan susu dan Indonesia belum semoncer negara-negara besar. Alamat penting untuk mengisahkan susu: Boyolali. Kabupaten di Jawa Tengah itu terkenal dengan sapi-sapi penghasil susu. Pengesahan kabupaten “susu” dibuktikan keberadaan patung-patung sapi di pelbagai tempat.

Sekian hari lalu, kita malah mendapat berita buruk mengenai susu. Di Kompas, 13 November 2024, kita membaca ironis susu segar terbuang gara-gara pembatasan penerimaan (kuota) susu di pabrik. Jumlah melimpah tak terserap oleh pabrik dan beragam jenis usaha. Peternak kebingungan mengetahui perubahan-perubahan kebijakan, berakibat susu telah dikirim mengalami lewat masa aman konsumsi. Susu pun terpaksa dibuang. Kejadian ironis di Pasuruan dan Boyolali.

Ironi terbaca dalam berita: “Susu sebenarnya menjadi pasar yang menjanjikan bagi peternak sapi di Indonesia… Hingga 2022 sesuai data BPS produksi susu segar dalam negeri hanya 968.980 ton atau sekitar 20 persen dari kebutuhan nasional 4,4 juta ton. Akibatnya, impor susu terus berjalan.” Kita tak terlalu memahami bisnis susu meski mengetahui bakal terwujud kebijakan akbar di Indonesia: makanan bergizi gratis. Kebijakan itu memerlukan susu.

Rochadi Tawaf (2024) mengingatkan lakon persusuan di Indonesia: “… era keemasan (1979-1990). Pada era ini, pengembangan sapi perah terjadi secara spektakuler. Populasi sapi perah meningkat tajam dari 94.000 ekor menjadi 325.000 ekor… Produksi susu meningkat dari 25.000 ton menjadi 382.000 ton per tahun.” Masa itu berlalu. Indonesia belum bisa mesem. Indonesia bukan negara mahir mengelola susu. Pada masa Orde Baru, susu tetap menjadi persoalan menguak dilema-dilema dalam kebijakan pemerintah, hasrat pengusaha, dan kebutuhan konsumen.

Kita membaca berita dan opini berdasarkan fakta. Kita mungkin ingin mengelak sejenak dengan menikmati suguhan imajinasi. Pada 1974, Kuntowijoyo menggubah puisi berjudul “Susu”. Puisi agak menggelitik jika dikaitkan tata kehidupan diproduksi rezim Orde Baru mulai mementingkan susu dalam lakon pembangunan nasional.

Kuntowijoyo menulis: Kita tidak minum susu/ Langit punya khasiat itu/ pada mega di bukit/ kita tidak minum protein semesta/ Mulut kita kecil dan lemah/ sempat menelan susu alam/ lalu terbungkam pedih/ kita tak kuasa menghabiskannya/ Surut kembali/ Sapi yang sempurna/ tak diperas susunya/ menetes sedikit-sedikit/ itu pun terasa bagai taufan/ Kiranya cukuplah/ bahwa kita pernah/ merasakan berkatnya/ sebelum kita dilahirkan.

Puisi melampaui iklan-iklan dan propaganda pemerintah bertema minum susu. Dulu, susu condong mengisahkan keluarga mapan. Anak-anak di keluarga miskin sulit minum susu. Pemerintah pun mengadakan program berdalil susu untuk murid-murid demi kesehatan dan kecerdasan. Kuntowijoyo sekadar menggubah puisi, bukan menjadi juru penerang atau pengamat (industri) susu.

Kita kadang ingin ada cerita atau puisi bertema susu menggenapi berita-berita tentang susu. Di Amerika Serikat, pengisahan susu cukup menghibur dan menggelitik dipersembahkan oleh Neil Gaiman dalam novel berjudul Fortunately the Milk (2014). Novel tipis mengenai keluarga memiliki kebiasaan mengonsumsi susu. Situasi ajaib terjadi dalam hubungan bapak dan anak-anak gara-gara susu. Bapak pamit kepada anak-anak untuk membelikan susu.

Waktu tunggu bagi anak-anak terlalu lama. Bapak tak lekas pulang. Neil Gaiman justru bercerita imajinasi merundung bapak saat menikmati “petualangan” bersama makhluk-makhluk aneh berakibat abai penantian anak-anak di rumah. Susu dalam botol dinantikan untuk menjawab lapar dan haus. Cerita lucu tapi mengandung kritik-kritik: ketagihan minum susu, nasib keluarga, kuasa negara, dan gejolak dunia.

Puisi dan novel tak menjawab masalah-masalah sapi dan susu di Indonesia. Kita sering telat dan gagal memahami beragam kebijakan pemerintah, selera konsumen, imajinasi kecerdasan, dan lain-lain. Indonesia sedang berada dalam lakon baru mementingkan susu atas nama gizi bagi jutaan murid di seantero Indonesia. Kita boleh ikut memikirkan susu atau berharap menjadi penikmat (imajinasi) susu dalam suguhan-suguhan sastra digubah para pengarang Indonesia. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment