- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Susu: Sapi dan Sastra
Bandung Mawardi
Bapak Rumah Tangga dan Tukang Kliping
Baca Lainnya :
- Kejar Swasembada Pangan, Indonesia Stop Impor Garam Mulai 20250
- Menko AHY: Bendungan Sidan, Proyek Strategis untuk Atasi Defisit Air di Wilayah SARBAGITA0
- Badan Pangan Nasional Gencarkan Gerakan Pangan Murah0
- KKP Lepas Ekspor Pakan hingga Indukan Udang Berstandar Internasional ke Brunei 0
- Desa Energi Berdikari di Indramayu Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi0
PADA suatu masa, iklan-iklan dalam
majalah anak, keluarga, dan umum menampilkan binatang besar. Binatang tampak
anggun dan santun. Iklan-iklan memang mengharuskan memikat perhatian mata
berlanjut imajinasi. Sapi menjadi binatang istimewa dalam iklan mengajak anak-anak
di seantero Indonesia agar gemar minum susu. Gambar sapi dilengkapi gambar anak
sedang minum susu atau berpenampilan seperti profesor, dokter, dan sarjana.
Masa depan anak sedang disusun dengan kebiasaan minum susu
setiap hari. Susu dihasilkan oleh sapi. Anak-anak itu beruntung seperti
mendapat “mukjizat” susu meski mereka tak mau disebut “anak sapi”. Iklan-iklan
masa lalu itu sangat mengesankan. Iklan di halaman cetak sudah memberi pikat.
Iklan tampil di televisi menghadirkan sapi bergerak dan bersuara makin memberi
bujukan.
Di Indonesia, imajinasi kecerdasan akibat susu diterima
jutaan orang. Keluarga-keluarga mendefinisikan diri dengan ketersediaan susu di
atas meja. Anak-anak dibiasakan minum susu sambil mengangankan kesehatan dan
taraf pengetahuan bakal meningkat. Di keseharian, anak-anak melihat kemasan
susu, bukan sapi. Mereka minum susu dalam gelas tanpa harus berada di padang
rumput atau kandang.
Pada masa dewasa, keinginan mengetahui susu dan sapi
memerlukan bacaan atau tontonan ilmiah dari pelbagai sumber. Sapi memang
menghasilkan susu. Para peminum susu tak selalu berasal dari sapi. Orang-orang
mengetahui sekian jenis susu, tak cuma susu sapi. Pengetahuan tentang fauna
terus bertambah untuk memastikan nasib sapi dan khasiat susu biasa dikonsumsi
manusia.
Sapi itu India. Kita sedang mengembara dalam pengetahuan di
negeri jauh. Di buku berjudul Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir
(2019), Marvin Harris menjelaskan sapi suci di Indonesia. pemujaan atau
pemuliaan memiliki dampak dalam pertanian, religiositas, dan pereknomian
negara. “Seorang petani yang memiliki seekor sapi betina berarti memiliki
‘pabrik’ untuk membuat sapi,” tulis Marvin Harris. Pembedaan dilakukan untuk
sapi jantan digunakan membajak di sawah dan sapi betina “melanggengkan”
keberadaan sapi.
Di situ, ada masalah susu membedakan hasrat peternakan di
India dan Amerika Serikat. Marvel Harris menerangkan: “… petani India bisa
menolerir sapi yang hanya menghasilkan 500 pon susu per tahun. Jika fungsi
ekonomis utama sapi zebo adalah memperanakkan binatang jantan pembajak sawah,
maka tidak ada gunanya membandingkannya dengan sapi khusus perahan Amerika
Serikat, yang fungsi utamanya menghasilkan susu.
Namun, tetap saja, susu yang dihasilkan oleh sapi zebu
memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan gizi banyak keluarga miskin.
Bahkan, sejumlah kecil produk susu dapat memperbaiki kesehatan orang-orang yang
terpaksa bertahan hidup di ambang kelaparan.” Di India, sapi tak selalu susu.
Pemahaman tentang sapi dipengaruhi agama.
Di pelbagai negara, peternakan sapi menghasilkan susu
dianggap meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan kenikmatan. Indonesia pun
ingin menjadi negara tercatat penghasil susu dalam kebutuhan dunia. Ikhtiar
sering dikalahkan negara-negara besar saat jutaan orang di Indonesia mulai
gemar dan “ketagihan” minum susu. Pengisahan susu dan Indonesia belum semoncer
negara-negara besar. Alamat penting untuk mengisahkan susu: Boyolali. Kabupaten
di Jawa Tengah itu terkenal dengan sapi-sapi penghasil susu. Pengesahan
kabupaten “susu” dibuktikan keberadaan patung-patung sapi di pelbagai tempat.
Sekian hari lalu, kita malah mendapat berita buruk mengenai
susu. Di Kompas, 13 November 2024, kita membaca ironis susu segar
terbuang gara-gara pembatasan penerimaan (kuota) susu di pabrik. Jumlah
melimpah tak terserap oleh pabrik dan beragam jenis usaha. Peternak kebingungan
mengetahui perubahan-perubahan kebijakan, berakibat susu telah dikirim
mengalami lewat masa aman konsumsi. Susu pun terpaksa dibuang. Kejadian ironis
di Pasuruan dan Boyolali.
Ironi terbaca dalam berita: “Susu sebenarnya menjadi pasar
yang menjanjikan bagi peternak sapi di Indonesia… Hingga 2022 sesuai data BPS
produksi susu segar dalam negeri hanya 968.980 ton atau sekitar 20 persen dari
kebutuhan nasional 4,4 juta ton. Akibatnya, impor susu terus berjalan.” Kita
tak terlalu memahami bisnis susu meski mengetahui bakal terwujud kebijakan
akbar di Indonesia: makanan bergizi gratis. Kebijakan itu memerlukan susu.
Rochadi Tawaf (2024) mengingatkan lakon persusuan di
Indonesia: “… era keemasan (1979-1990). Pada era ini, pengembangan sapi perah
terjadi secara spektakuler. Populasi sapi perah meningkat tajam dari 94.000
ekor menjadi 325.000 ekor… Produksi susu meningkat dari 25.000 ton menjadi
382.000 ton per tahun.” Masa itu berlalu. Indonesia belum bisa mesem. Indonesia
bukan negara mahir mengelola susu. Pada masa Orde Baru, susu tetap menjadi
persoalan menguak dilema-dilema dalam kebijakan pemerintah, hasrat pengusaha,
dan kebutuhan konsumen.
Kita membaca berita dan opini berdasarkan fakta. Kita
mungkin ingin mengelak sejenak dengan menikmati suguhan imajinasi. Pada 1974,
Kuntowijoyo menggubah puisi berjudul “Susu”. Puisi agak menggelitik jika
dikaitkan tata kehidupan diproduksi rezim Orde Baru mulai mementingkan susu
dalam lakon pembangunan nasional.
Kuntowijoyo menulis: Kita tidak minum susu/ Langit punya
khasiat itu/ pada mega di bukit/ kita tidak minum protein semesta/ Mulut kita
kecil dan lemah/ sempat menelan susu alam/ lalu terbungkam pedih/ kita tak
kuasa menghabiskannya/ Surut kembali/ Sapi yang sempurna/ tak diperas susunya/
menetes sedikit-sedikit/ itu pun terasa bagai taufan/ Kiranya cukuplah/ bahwa
kita pernah/ merasakan berkatnya/ sebelum kita dilahirkan.
Puisi melampaui iklan-iklan dan propaganda pemerintah
bertema minum susu. Dulu, susu condong mengisahkan keluarga mapan. Anak-anak di
keluarga miskin sulit minum susu. Pemerintah pun mengadakan program berdalil
susu untuk murid-murid demi kesehatan dan kecerdasan. Kuntowijoyo sekadar
menggubah puisi, bukan menjadi juru penerang atau pengamat (industri) susu.
Kita kadang ingin ada cerita atau puisi bertema susu
menggenapi berita-berita tentang susu. Di Amerika Serikat, pengisahan susu
cukup menghibur dan menggelitik dipersembahkan oleh Neil Gaiman dalam novel
berjudul Fortunately the Milk (2014). Novel tipis mengenai keluarga
memiliki kebiasaan mengonsumsi susu. Situasi ajaib terjadi dalam hubungan bapak
dan anak-anak gara-gara susu. Bapak pamit kepada anak-anak untuk membelikan
susu.
Waktu tunggu bagi anak-anak terlalu lama. Bapak tak lekas
pulang. Neil Gaiman justru bercerita imajinasi merundung bapak saat menikmati
“petualangan” bersama makhluk-makhluk aneh berakibat abai penantian anak-anak
di rumah. Susu dalam botol dinantikan untuk menjawab lapar dan haus. Cerita
lucu tapi mengandung kritik-kritik: ketagihan minum susu, nasib keluarga, kuasa
negara, dan gejolak dunia.
Puisi dan novel tak menjawab masalah-masalah sapi dan susu
di Indonesia. Kita sering telat dan gagal memahami beragam kebijakan
pemerintah, selera konsumen, imajinasi kecerdasan, dan lain-lain. Indonesia
sedang berada dalam lakon baru mementingkan susu atas nama gizi bagi jutaan
murid di seantero Indonesia. Kita boleh ikut memikirkan susu atau berharap
menjadi penikmat (imajinasi) susu dalam suguhan-suguhan sastra digubah para
pengarang Indonesia. Begitu.