- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Pembelajaran dari Masa Lalu: Menyingkap Kebijakan Perdagangan di Indonesia
Indonesia tidak boleh kehilangan fokus dalam meningkatkan kebijakan perdagangan. Pemerintahan Joko Widodo telah menjalankan paket deregulasi secara substansial ke arah yang benar dan mendorong laju pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Agar kebijakan ini berjalan dengan baik, pemerintah harus bijaksana dalam hal pengaturan importasi barang yang umumnya mencakup kuota, perizinan impor, serta tingkat kandungan dalam negeri. Tujuan pemerintahan Joko Widodo untuk mempromosikan industri dalam negeri pun telah diuraikan dengan baik dalam paket-paket deregulasi. Indonesia sebagai negara agraris memerlukan strategi yang terstruktur untuk meningkatkan kinerja sektor agroindustri di sisi hilir dan sektor pertanian di sisi hulu.
Sektor pertanian yang kuat adalah kunci bagi pemerintah untuk menyejahterakan petani dan melindungi industri dalam negeri dari ketergantungan impor bahan baku. Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia yang menopang penghidupan lebih dari 50 juta penduduk, yang sebagian besar terdiri atas petani di daerah pedesaan. Di dalam era globalisasi, aturan perdagangan internasional menjadi kerangka acuan yang digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menyusun kebijakan pertanian mereka.
Ketidaksesuaian dengan aturan tersebut dapat menciptakan sengketa dagang antarnegara. Sebagai contoh, bulan Desember yang lalu Badan Penyelesaian Sengketa dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memutuskan bahwa kebijakan impor produk hortikultura yang diterapkan oleh Indonesia melanggar ketentuan perdagangan internasional. Permasalahan tersebut bermula pada tahun 2012, ketika Indonesia menetapkan sejumlah ketentuan impor untuk buah-buahandansayur- sayuran, seperti rezim perizinan impor yang ketat, ketentuan impor berkala dan permanen, persyaratan tingkat kandungan dalam negeri, dan harga acuan untuk komoditas pangan tertentu.
Kekalahan di WTO akan memberikan dampak negatif terhadap reputasi dan kredibilitas Indonesia. Selain itu, negara penggugat dapat meminta kompensasi atau menerapkan retaliasi terhadap produk Indonesia apabila Indonesia tidak menyesuaikan kebijakannya sesuai dengan keputusan WTO. Seperti yang terjadi pada kasus US-COOL, Meksiko dan Kanada diperbolehkan untuk melakukan retaliasi terhadap Amerika Serikat sebesar USD1 miliar setiap tahunnya.
Dengan adanya resesi global, banyak kelompok yang menganggap aturan perdagangan internasional sebagai ancaman karena dapat menghambat kemampuan negara dalam mengelola perekonomian dalam negerinya. Namun, di sisi lain, aturan tersebut juga telah meningkatkan kesuksesan pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia pada beberapa dekade yang lalu.
Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masa Lalu?
Apabila kita melihat ke belakang, Indonesia berupaya keras untuk mengintegrasikan perekonomiannya ke dalam perekonomian dunia. Proses integrasi tersebut sudah dimulai sejak tahun 1980-an dan dipercepat pada tahun 1990-an. Pada periode tersebut, pemerintah berhasil mengurangi hambatan perdagangan secara substansial dan membuka perekonomian untuk investasi dari luar negeri. Momentum kebijakan keterbukaanpasarIndonesiaterjadi ketika adanya penurunan yang tajam terhadap harga minyak.
Pemerintah melakukan langkah yangtepatuntukmerestruksiperekonomian dengan melalukan diversifikasi pada sektor perdagangan dan mengesampingkan ketergantungannya terhadap minyak dan gas. Pada akhir tahun 1980-an, perubahan kebijakan perdagangan diterapkan melalui serangkaian paket deregulasi yang diterbitkan setidaknya sekali setiap tahun. Hal ini bertujuan untuk mengurangi hambatan nontarif perdagangan (Non-Tariff Barriers).
Penanaman modal dari luar negeri pun dipermudah secara bertahap. Fokus pemerintah selanjutnya kala itu adalah membenahi perizinan impor. Pada tahun 1990- an, ada lebih dari 1.000 produk yang masuk daftar pembenahan. Enam tahun kemudian, jumlah produk yang membutuhkan izin impor turun menjadi 200 produk. Jumlah tersebut terus mengalami penurunan seiring dengan penerapan komitmen WTO oleh Indonesia untuk meniadakan semua hambatan nontarif bagi komoditas yang terikat di WTO.
Integrasi yang dilakukan pada akhirnya mendukung pertumbuhan yang diperlukan bagi negara. Kebijakan pemerintah berhasil menarik investasi dari luar negeri untuk industri ekspor padat karya dan mempercepat pertumbuhan industri berbasis pertanian di Indonesia.
Kekhawatiran Masa Depan
Mengingat potensi besar dari sektor pertanian di Indonesia, pemerintah dapat menjadikan kebijakan di masa lalu sebagai acuan. Seperti diketahui, Indonesia merupakan produsen minyak sawit, cengkeh, dan kayu manis terbesar di dunia. Produsen terbesar kedua untuk pala, karet alam, singkong, vanili, dan minyak kelapa. Produsen terbesar ketiga untuk beras dan kakao. Produsen terbesar keempat untuk kopi. Produsen terbesar kelima untuk tembakau dan produsen terbesar keenam untuk teh. Komoditas-komoditas tersebut cenderung ingin diatur secara sektoral.
Selain Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan, saat ini DPR Indonesia juga telah menyetujui RUU Pertembakauan sebagai rancangan inisiatif DPR. Melalui pemberitaan media, disebutkan bahwa RUU itu akan menerapkan skema tingkat kandungan dalam negeri dan kuota untuk impor tembakau. Undang-undang tersebut juga akan menetapkan tarif impor tembakau yang tinggi. Kebijakan yang sedang dipertimbangkan tersebut dapat menimbulkan beban berat bagi pasar dalam negeri dan sangat kontraproduktif bagi perekonomian Indonesia.
Peraturan importasi yang dipertimbangkan tampaknya juga akan menimbulkan permasalahan yang serupa dengan sengketa dagang produk hortikultura. Oleh karenanya, alangkah bijaksananya untuk menerapkan skema hambatan nontarif yang terkait dengan keamanan nasional, perlindungan kesehatan, keselamatan, lingkungan, moralitas, kekayaan intelektual, dan kepatuhan terhadap kewajiban internasional.
Pembenaran yang paling umum diberikan untuk praktik ini dapat memungkinkan Indonesia untuk mempercepat pengembangan industri dan sesuai dengan aturan WTO.
DR Intan Soeparna
Dosen Universitas Airlangga
sumber : koran-sindo.com