- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
2017, Harus Ada Terobosan Profesi Petani
BANDUNG, (PR).- Pekerjaan sebagai petani kurang diminati oleh sebagian besar pemuda, bahkan oleh lulusan jurusan pertanian pada perguruan tinggi negeri. Sebabnya, hal itu tidak lepas dari 3 hal, yakni citra petani yang tidak sejahtera, jaminan yang rendah terhadap pekerjaan tersebut, dan pemerintah yang terlalu fokus pada produksi pertanian tapi kurang memperhatikan kesejahteraan para petani.
Hal tersebut mesti diubah, dan Tahun 2017 ini merupakan awal yang tepat untuk membuat terobosan. Hal itu disampaikan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar, Entang Sastraatmadja kepada "PR" di Bandung, Senin, 13 Februari 2017.
"Banyak kesan yang sudah beredar di masyarakat. Petani itu tidak bisa jadi konglomerat, lusuh, dan tidak berdasi. Kerjanya mesti berpanas-panasan, bergumul dengan lumpur. Adapun kaum muda sekarang secara umum lebih nyaman bekerja di ruang berAC dan berpenampilan modis. Orientasinya juga sudah bekerja dengan peralatan canggih dan serba digital. Selama kesan petani di mata pemuda tidak berubah, maka pemuda tidak akan pernah tertarik jadi petani," ujarnya.
Bahkan diberitakan "PR sebelumnya, puluhan ribu lahan pertanian di kota dan Kabupaten Sukabumi terancam terlantar seiring ditinggalkan para penggarap muda. Mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik dibandingkan penggarap lahan pertaniannya.
Baca Lainnya :
- Kementan Targetkan Ekspor Beras 100 Ribu Ton di 20170
- Petani Lamongan Panen Raya Padi dengan Metode Refugia0
- Pasar Tradisional dan Ekonomi Berkeadilan0
- PENANDATANGANAN AKTE KOPERASI INDOKOPAT NUSANTARA SINERGI, 11 FEB 20170
- Memanfaatkan Alam Sekitar Kita 0
Menurut Entang, pekerjaan petani saat ini tidak memiliki jaminan yang aman dari pemerintah. Baik itu jaminan terhadap kehidupan yang layak ataupun bayaran yang layak. Jangankan jaminan, lahan pertaniannya saja semakin berkurang. Justru saat ini lahan sudah berpihak pada dunia industri, bukan pertanian. Alih fungsi lahan pun semakin luas dan salah satu korbannya adalah lahan pertanian. Dengan demikian, bagaimana profesi petani akan menjadi menarik bagi seseorang ketika lahannya saja tidak ada.
"Pemerintah hanya fokus pada swasembada dan produksi, tapi tidak pada kesejahteraan petani. Oleh karena itu, produksi digenjot dan tinggi, tapi kesejahteraan petani tidak semakin baik. Maklum, kalau target produksi kan berpengaruh pada posisi dan jabatan. Target produksi tidak tercapai, siap-siap saja diganti. Maka jangan heran kalau produksi dipandang lebih utama dibandingkan kesejahteraan para petaninya," kata Entang.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Bandung, Nono S. Sambas menyampaikan, terdapat 2 hal penting yang mesti diperhatikan agar pekerjaan sebagai petani bisa menarik para pemuda. Hal pertama mesti dilakukan oleh petani itu sendiri, dan hal kedua mesti dilakukan oleh pemerintah. Bila kedua hal tersebut dijalankan, barulah pekerjaan sebagai petani menjadi hal yang memiliki daya tawar tinggi.
"Menjadi petani mesti memiliki daya juang tinggi dan cerdas mengolah hasil pertanian. Apapun yang terjadi, pertahankan tanah pertanian, sebisa mungkin jangan dijual dan pertahankan oleh para petani lokal. Orang Indonesia mesti memiliki tanah di Indonesia. Jangan sampai tanah, terutama lahan pertanian, justru terjual pada pihak-pihak asing. Bila demikian, para petani hanya akan bisa menjadi penggarap, tanpa memiliki lahan pertanian sendiri," ujar Nono menjelaskan.
Berikutnya yang sangat penting adalah keterlibatan negara. Di satu sisi, negara menginginkan produksi pangan bertambah, tapi di sisi lain alih fungsi lahan pertanian juga semakin tinggi. Dengan demikian lahan pertanian semakin sempit, tapi produksi mesti meningkat karena jumlah penduduk juga terus meningkat.
Konsekuensinya, mesti ada pengembangan teknologi pertanian yang baik agar produksi tetap bertambah. Pertanyaannya, apakah saat ini teknologinya sudah ada?
"Bila kedua hal di atas dibenahi dan dilakukan sungguh-sungguh, maka saya yakin menjadi petani akan memiliki nilai ekonomi. Ketika profesi petani memiliki nilai ekonomi, maka barulah profesi tersebut bisa memiliki daya tawar dan akan diperhitungkan. Bahkan, profesi tersebut akan menjadi daya tarik bagi para pemuda," ujarnya.
Hanya saja, yang memprihatinkan adalah, kenyataannya saat ini para petani sulit mempertahankan lahan pertanian. Karena kebutuhan semakin tinggi, belum lagi lilitan utang karena uang hasil pertanian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan membayar utang. Akhirnya, para pemilik lahan pertanian menjual lahan miliknya.
"Realitas di atas mungkin akan berbeda jika pemerintah secara tegas melindungi petani dengan undang-undang dan regulasi. Saya mengilustrasikan satu hal kecil saja, harga Gabah Kering Pungut (GKP) masih dinilai sangat rendah. Ilustrasi ini memperlihatkan justru pemerintah secara tidak langsung membunuh petani. Sama saja pemerintah tidak peduli," ujarnya.
Nono menegaskan, subsidi itu jangan terfokus pupuk dan alsintan, tapi produknya juga. Dengan demikian, produk petani dibeli tinggi oleh negara, tapi negara bisa menjualnya dengan harga terjangkau ke masyarakat.***
sumber : pikiran-rakyat.com