Kelapa: Hilirisasi dan Imajinasi

By PorosBumi 09 Des 2024, 08:22:07 WIB Tilikan
Kelapa: Hilirisasi dan Imajinasi

Bandung Mawardi

Bapak Rumah Tangga dan Tukang Kliping

 

Baca Lainnya :

DI dekat Solo, ada desa bernama Blulukan. Konon, penamaan desa berdasarkan pohon kelapa. “Bluluk” itu buah kelapa masih kecil. Dulu, desa memang khas dengan keberadaan ratusan pohon kelapa. Pohon memberi hikmah: pangan, kerajinan, ritual, estetika, dan lain-lain. Kini, orang-orang susah menemukan pohon kelapa di Blulukan.

Pohon-pohon kelapa menghilang demi keselamatan rumah, kabel listrik, dan kepadatan permukiman. Nama desa tak berubah tapi pemandangan dan tata cara hidup berubah. Kebutuhan warga untuk santan, janur, atau lidi memerlukan pembelian di pasar. Desa sudah menempatkan kelapa sebagai “sejarah” atau “imajinasi” kesilaman.

Pada suatu hari, Blulukan itu perlahan terkenal. Negara mendirikan rumah untuk dihuni Joko Widodo setelah rampung berkuasa selama sepuluh tahun. Rumah itu beralamat di Blulukan. Kita menantikan saja di rumah itu bakal ditanam pohon kelapa agar ada ikhtiar mengingat masa lalu. Di Blulukan, pohon kelapa kehilangan cerita.

Suharso M (2024) mengingatkan negara dan kelapa. Ia berpikiran besar, tak cukup bila mengurusi desa. Kelapa disebut “harta karun” lama terlupa. Suharso mengungkapkan: “Selama puluhan tahun, industri kelapa Indonesia ibarat raksasa tidur, menunggu untuk dibangunkan dan diberdayakan.

Namun, ironi menyapa kita ketika melihat Filipina, yang lebih siap dalam mengurus industrialisasi kelapa, berhasil melampaui Indonesia.” Ia prihatin dan kecewa meski sulit membuat kebijakan bermutu. Suharso mengajukan “hilirisasi kelapa” saat turut dalam kabinet Joko Widodo. Impian disampaikan: “Hilirisasi kelapa membuka peluang bagi Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam ekonomi hijau global.”

Kita tak ingin ikut bermimpi. Perbincangan kelapa dan negara itu berat. Kita justru menanti dampak rumah Joko Widodo di Blulukan agar bertumbuh lagi pohon kelapa di desa. Dampak berpijak sosial-kultural sebelum bernalar industri. Pada suatu hari, orang-orang mungkin mendapat berita mengenai kesuburan pohon kelapa di Blulukan. Joko Widodo turut diberitakan jalan-jalan di desa sambil menikmati pemandangan pohon kelapa.

Penantian berita menggembirakan diselingi berita mengandung “keilmuan”. Di Kompas, 2 Desember 2024, terbaca berita berjudul “Minyak Kelapa Menjadi Bahan Bakar Berkelanjutan”. Kita mengikuti ikhtiar BRIN. Para peneliti sedang berusaha memberi “kejutan” merujuk kelapa. Indonesia itu negara pengekspor kelapa dalam bentuk buah utuh.

Kabar mungkin menggembirakan. Pembaca diingatkan: “…. dalam satu pohon kelapa diperkirakan 20-30 persen buanya tidak layak ekspor karena kondisi yang rusak dan berjamur. Tingginya angka buah kelapa yang tidak layak ekspor itu berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan biojet-fuel.” Istilah asing dianggap memberi terang nasib kelapa di Indonesia.

Penjelasan diajukan: “Penggunaan kelapa menjadi biojet-fuel dilakukan dengan cara mengambil minyak dari buah kelapa melalui proses katalisis. Deliana (BRIN) mengembangkan katalis MOFs untuk mengubah atau mengonversi minyak kelapa menjadi biojet-fuel.” Riset dan pengharapan itu cukup pantas mendapat tepuk tangan.

Gagasan-gagasan besar mengenai kelapa diajukan atas nama negara dan kerja-keilmuan. Kita pernah menjadi murid SD mengingat penjelasan-penjelasan guru. Kelapa itu “segala”. Guru bergairah menjelaskan agar murid-murid terpukau dan mengangguk tentang faedah kelapa. Konon, “semua” unsur pohon kelapa itu berguna. Pada masa lalu, murid-murid bermufakat “kesaktian” pohon kelapa meski tak menginsafi kehilangan atau kepunahan pohon kelapa di desa-desa.

Ingatan terjauh berlatar masa kolonial. Kedatangan orang-orang asing biasa ditandai tatapan mata untuk pohon kelapa. Dulu, sebutan terindah: “njioer melambai”. Imajinasi tanah jajahan turut terbentuk oleh pohon kelapa. Orang-orang menggubah sastra atau lagu mengenai pohon kelapa. Lukisan dan foto pun diadakan untuk memuliakan pohon kelapa. Imajinasi tanah tropis itu beredar ke pelbagai negara. Indonesia terpuji dengan pohon kelapa: indah dan berhikmah. Kita tak mau melestarikan imajinasi “kolonial” saat pohon kelapa tak terlalu ramai dalam perbincangan publik.

Kita mengenang kelapa melalui lagu lama gubahan Madong Lubis berjudul “Kelapa”. Lagu termuat dalam buku berjudul Taman Kesoema (1949). Lagu membuat rindu kelapa. Madong Lubis memberi lirik: Di tanah kita banjak kelapa/ Di tanah kita banjak kelapa/ Bermatjam-matjam, beroepa-roepa/ Banjak goenanja djanganlah loepa/ Banjak goenanja djanganlah loepa/ Bermatjam-matjam, beroepa-roepa/ Walaulah harganja tidak berapa. Lagu mengabarkan Indonesia itu tanah subur untuk kelapa. Keberlimpahan kelapa berakibat harga murah. Di desa-desa, kebiasan berbagi kelapa terjadi, menghindari pamrih jual-beli,

Lagu dapat menjadi sumber (imajinasi) pengajaran kepada anak-anak. Madong Lubis melanjutkan: Daging boehanja diboeat minjak/ Akan goenanja djangan ditanjak/ Di kedai-kedai sangatlah banjak/ Pisang tembatoe diboeatnja enak// Karena minjaknja roesak segera/ Ia ditjoengkil diboeat kopra/ Banjak dikirim ke para/ Kemana-mana tidak terkira// Itoe semoea hasilnja keboen/ Bergoeni-goeni bertimboen-timboen/ Diboeat mentega diboeat saboen/ Kantong jang kosong diboeatnja tamboen. Lagu sederhana tapi lupa dilestarikan agar disenandungkan anak-anak di seantero Indonesia. Lagu bukan referensi “hilirisasi kelapa” masih impian dan rumit diwujudkan.

Kelapa mungkin tak lagi tema penting diajarkan di sekolah-sekolah. Murid-murid berjarak dengan pengetahuan dan pengalaman. Mereka jarang berpikiran serius meski mengetahui beragam makanan dan minuman merujuk kelapa. Sekian makanan bersantap mengingatkan kelapa. Di pinggir jalan, kenikmatan es kelapa muda cukup ditebus sekian rupiah. Kelapa sekadar gambar di bungkus minuman atau roti. Kini, kelapa diajukan untuk masalah-masalah besar demi kemuliaan negara dan pembuktian kesaktian ilmu. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment