- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Kelapa: Hilirisasi dan Imajinasi
Bandung Mawardi
Bapak Rumah Tangga dan Tukang Kliping
Baca Lainnya :
- Eratani dan Distphbun Sulsel Siap Bersinergi Transformasi Teknologi Modern0
- Rilis Permentan No 13/2024, Pemerintah Pastikan Harga TBS Tidak Merugikan Pekebun0
- Produksi Padi Diyakini Meningkat, Wamentan Tekankan Bulog Serap Gabah Petani0
- Manfaatkan Energi Matahari, Petani Kopi Cuan Jutaan0
- Penyuluh Ujung Tombak Pendampingan Petani Mempercepat Swasembada Pangan0
DI dekat Solo, ada desa bernama
Blulukan. Konon, penamaan desa berdasarkan pohon kelapa. “Bluluk” itu buah
kelapa masih kecil. Dulu, desa memang khas dengan keberadaan ratusan pohon
kelapa. Pohon memberi hikmah: pangan, kerajinan, ritual, estetika, dan lain-lain.
Kini, orang-orang susah menemukan pohon kelapa di Blulukan.
Pohon-pohon kelapa menghilang demi keselamatan rumah, kabel
listrik, dan kepadatan permukiman. Nama desa tak berubah tapi pemandangan dan
tata cara hidup berubah. Kebutuhan warga untuk santan, janur, atau lidi
memerlukan pembelian di pasar. Desa sudah menempatkan kelapa sebagai “sejarah”
atau “imajinasi” kesilaman.
Pada suatu hari, Blulukan itu perlahan terkenal. Negara
mendirikan rumah untuk dihuni Joko Widodo setelah rampung berkuasa selama
sepuluh tahun. Rumah itu beralamat di Blulukan. Kita menantikan saja di rumah
itu bakal ditanam pohon kelapa agar ada ikhtiar mengingat masa lalu. Di
Blulukan, pohon kelapa kehilangan cerita.
Suharso M (2024) mengingatkan negara dan kelapa. Ia
berpikiran besar, tak cukup bila mengurusi desa. Kelapa disebut “harta karun”
lama terlupa. Suharso mengungkapkan: “Selama puluhan tahun, industri kelapa
Indonesia ibarat raksasa tidur, menunggu untuk dibangunkan dan diberdayakan.
Namun, ironi menyapa kita ketika melihat Filipina, yang
lebih siap dalam mengurus industrialisasi kelapa, berhasil melampaui
Indonesia.” Ia prihatin dan kecewa meski sulit membuat kebijakan bermutu.
Suharso mengajukan “hilirisasi kelapa” saat turut dalam kabinet Joko Widodo.
Impian disampaikan: “Hilirisasi kelapa membuka peluang bagi Indonesia untuk
menjadi pemimpin dalam ekonomi hijau global.”
Kita tak ingin ikut bermimpi. Perbincangan kelapa dan negara
itu berat. Kita justru menanti dampak rumah Joko Widodo di Blulukan agar
bertumbuh lagi pohon kelapa di desa. Dampak berpijak sosial-kultural sebelum
bernalar industri. Pada suatu hari, orang-orang mungkin mendapat berita
mengenai kesuburan pohon kelapa di Blulukan. Joko Widodo turut diberitakan
jalan-jalan di desa sambil menikmati pemandangan pohon kelapa.
Penantian berita menggembirakan diselingi berita mengandung
“keilmuan”. Di Kompas, 2 Desember 2024, terbaca berita berjudul “Minyak
Kelapa Menjadi Bahan Bakar Berkelanjutan”. Kita mengikuti ikhtiar BRIN. Para
peneliti sedang berusaha memberi “kejutan” merujuk kelapa. Indonesia itu negara
pengekspor kelapa dalam bentuk buah utuh.
Kabar mungkin menggembirakan. Pembaca diingatkan: “…. dalam
satu pohon kelapa diperkirakan 20-30 persen buanya tidak layak ekspor karena
kondisi yang rusak dan berjamur. Tingginya angka buah kelapa yang tidak layak
ekspor itu berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan biojet-fuel.”
Istilah asing dianggap memberi terang nasib kelapa di Indonesia.
Penjelasan diajukan: “Penggunaan kelapa menjadi biojet-fuel
dilakukan dengan cara mengambil minyak dari buah kelapa melalui proses
katalisis. Deliana (BRIN) mengembangkan katalis MOFs untuk mengubah atau
mengonversi minyak kelapa menjadi biojet-fuel.” Riset dan pengharapan
itu cukup pantas mendapat tepuk tangan.
Gagasan-gagasan besar mengenai kelapa diajukan atas nama
negara dan kerja-keilmuan. Kita pernah menjadi murid SD mengingat
penjelasan-penjelasan guru. Kelapa itu “segala”. Guru bergairah menjelaskan
agar murid-murid terpukau dan mengangguk tentang faedah kelapa. Konon, “semua”
unsur pohon kelapa itu berguna. Pada masa lalu, murid-murid bermufakat
“kesaktian” pohon kelapa meski tak menginsafi kehilangan atau kepunahan pohon
kelapa di desa-desa.
Ingatan terjauh berlatar masa kolonial. Kedatangan
orang-orang asing biasa ditandai tatapan mata untuk pohon kelapa. Dulu, sebutan
terindah: “njioer melambai”. Imajinasi tanah jajahan turut terbentuk oleh pohon
kelapa. Orang-orang menggubah sastra atau lagu mengenai pohon kelapa. Lukisan
dan foto pun diadakan untuk memuliakan pohon kelapa. Imajinasi tanah tropis itu
beredar ke pelbagai negara. Indonesia terpuji dengan pohon kelapa: indah dan
berhikmah. Kita tak mau melestarikan imajinasi “kolonial” saat pohon kelapa tak
terlalu ramai dalam perbincangan publik.
Kita mengenang kelapa melalui lagu lama gubahan Madong Lubis
berjudul “Kelapa”. Lagu termuat dalam buku berjudul Taman Kesoema
(1949). Lagu membuat rindu kelapa. Madong Lubis memberi lirik: Di tanah kita
banjak kelapa/ Di tanah kita banjak kelapa/ Bermatjam-matjam, beroepa-roepa/
Banjak goenanja djanganlah loepa/ Banjak goenanja djanganlah loepa/
Bermatjam-matjam, beroepa-roepa/ Walaulah harganja tidak berapa. Lagu
mengabarkan Indonesia itu tanah subur untuk kelapa. Keberlimpahan kelapa
berakibat harga murah. Di desa-desa, kebiasan berbagi kelapa terjadi,
menghindari pamrih jual-beli,
Lagu dapat menjadi sumber (imajinasi) pengajaran kepada
anak-anak. Madong Lubis melanjutkan: Daging boehanja diboeat minjak/ Akan
goenanja djangan ditanjak/ Di kedai-kedai sangatlah banjak/ Pisang tembatoe
diboeatnja enak// Karena minjaknja roesak segera/ Ia ditjoengkil diboeat kopra/
Banjak dikirim ke para/ Kemana-mana tidak terkira// Itoe semoea hasilnja
keboen/ Bergoeni-goeni bertimboen-timboen/ Diboeat mentega diboeat saboen/
Kantong jang kosong diboeatnja tamboen. Lagu sederhana tapi lupa
dilestarikan agar disenandungkan anak-anak di seantero Indonesia. Lagu bukan
referensi “hilirisasi kelapa” masih impian dan rumit diwujudkan.
Kelapa mungkin tak lagi tema penting diajarkan di
sekolah-sekolah. Murid-murid berjarak dengan pengetahuan dan pengalaman. Mereka
jarang berpikiran serius meski mengetahui beragam makanan dan minuman merujuk
kelapa. Sekian makanan bersantap mengingatkan kelapa. Di pinggir jalan,
kenikmatan es kelapa muda cukup ditebus sekian rupiah. Kelapa sekadar gambar di
bungkus minuman atau roti. Kini, kelapa diajukan untuk masalah-masalah besar
demi kemuliaan negara dan pembuktian kesaktian ilmu. Begitu.