- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Sejarah Rempah dan Minyak Atsiri dalam Bidang Kesehatan
BERABAD-abad silam, Byzantium yang kemudian berganti nama menjadi Konstantinopel merupakan kota yang menjadi pusat transit perdagangan dunia. Konstantinopel merupakan sebuah kota yang sangat indah, tempatnya subur, dan memiliki lokasi yang sangat strategis secara geografis, sehingga menjadi kota terbesar dan termakmur di Eropa.
Kota Byzantium didirikan oleh Kekaisaran Romawi dan terletak di perbatasan Eropa dan Asia, strategis baik dari segi laut yang berada di antara Laut Tengah dan Laut Hitam maupun darat yang dilalui Jalur Sutra, di mana merupakan pusat persimpangan jalur perdagangan dunia. Pedagang dari berbagai negara berdatangan dan melakukan transaksi jual beli dari bermacam-macam barang dagang.
Perdagangan rempah merupakan salah satu bisnis yang cukup tua dan paling menguntungkan pada masanya. Rempah-rempah telah dikenal di Eropa sekitar 70 SM dan digunakan sebagai obat serta penyedap makanan. Maluku–yang saat itu tidak diketahui–menjadi sumber utama rempah-rempah dunia, dari Selat Malaka rempah-rempah dibawa oleh pedagang Arab dan Gujarat ke India serta China melalui Jalur Sutra.
Baca Lainnya :
- Healing sambil Bertualang, Ini Aktivitas Seru dan Lokasinya0
- Stranas PK: Potensi Kerugian Negara Rp1,2 Triliun Per Bulan Dari Subsidi Listrik Tak Tepat Sasaran0
- Pangkas 145 Regulasi, Kebijakan Distribusi Pupuk Langsung Ke Petani Dinilai Tepat0
- Ilmuwan Peringatkan Kelemahan Penggunaan AI di Dunia Nyata0
- Hashim Djojohadikusumo Pikat Pendanaan Hijau EUR 1,2 Miliar untuk Sektor Kelistrikan0
Rempah kemudian diangkut dengan kapal ke pelabuhan di Venesia, lalu dibawa melalui darat ke Mediterania, kemudian diekspor ke Timur Tengah dan negara-negara di sekitar Laut Tengah hingga akhirnya menjadi rute perniagaan rempah tersebar di Eropa. Saat itu, rempah seperti pala dan cengkeh merupakan barang mewah yang sering ditukar dengan kain dari India, atau keramik dari China.
Rempah sangat disukai oleh bangsa Eropa, karena iklim Eropa yang dingin, rempah sering dikonsumsi untuk menghangatkan tubuh dan biasa digunakan untuk pengobatan, penyedap masakan, juga parfum. Bahkan saat itu rempah-rempah dari Negeri Timur yaitu Nusantara dipercaya menjadi obat hirup alami untuk mengobati wabah besar yang mengakibatkan kematian luar biasa di Eropa.
Kehidupan manusia hingga saat ini tidak pernah lepas dari seleksi alam oleh wabah-wabah yang pernah terjadi. Krisis Covid-19 bukanlah wabah yang pertama terjadi. Sebelumnya, wabah-wabah lain pernah melanda bumi kita beberapa kali, salah satunya adalah penyakit pes. Penyakit pes adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang dibawa oleh kutu tikus dan pertama kali muncul pada tahun 542 di Konstantinopel–salah satu tempat berbagai komoditas pangan diperjualbelikan secara Internasional.
Hal ini disinyalir menjadi alasan mengapa penyebaran wabah pes terjadi, impor bahan pangan oleh Konstantinopel membawa tikus berkutu yang menyelinap ke berbagai kapal dagang dan bersembunyi di antara berbagai muatan kapal, tikus-tikus pembawa penyakit ikut naik kapal dagang, menyusup di antara karung bahan pangan.
Manusia dapat terinfeksi penyakit pes melalui gigitan kutu tikus atau gigitan tikus yang terinfeksi. Tikus yang terjangkit pes umumnya bertahan 10-14 hari kemudian mati, namun kutu yang bersarang di tikus tetap bertahan hidup. Kematian massal tikus membuat gerombolan kutu kehilangan inang sehingga bersarang di tubuh manusia dan mendatangkan penyakit.
Di awal kemunculannya, wabah pes dikenal dengan nama Plague of Justinian, sesuai dengan nama kaisar Romawi yang berkuasa saat pandemi tersebut terjadi. Penyakit ini kemudian menyebar melintasi Afrika Utara, Asia, Timur Tengah, hingga Eropa. Masyarakat saat itu tidak mengetahui bagaimana cara melawan wabah kecuali dengan menghindari mereka yang sakit agar mampu bertahan hidup atau memiliki kekebalan tubuh melalui adaptasi.
Wabah pes ini tidak berakhir begitu saja, 800 tahun kemudian wabah ini kembali muncul di Eropa pada tahun 1347. Dalam waktu 4 tahun, wabah ini telah menewaskan hampir dua pertiga populasi yang ada di Eropa dan diperkirakan ada 200 juta nyawa manusia di seluruh dunia yang gugur. Saat itu, wabah ini dikenal dengan nama Black Death (wabah Maut Hitam), disebut demikian karena gejala awal yang ditunjukkan oleh penderita adalah menghitamnya bagian kulit akibat jaringan yang mati.
Kala itu penanganan penyakit pes dilakukan dengan melakukan isolasi paksa bagi para awak kapal yang baru datang di pelabuhan. Para awak kapal ditahan di kapal selama 30 hari yang dikenal dengan istilah trentino, hingga akhirnya dinyatakan tidak sakit. Seiring waktu, durasi isolasi para awak ditambah menjadi 40 hari atau quarantino yang mana merupakan asal kata asli dari “karantina” yang dunia kenal saat ini.
Selain itu masyarakat Eropa percaya, bahwa memakai pala atau rempah yang dimasukkan ke dalam kantung kecil dan dikalungkan ke leher kemana pun hendak pergi dapat mencegah pemakainya dari wabah pes. Meskipun awalnya dianggap takhayul karena keterbatasan ilmu pengetahuan, aroma pala yang terhirup diyakini masyarakat menjadi obat pes saat itu.
Hal ini tidak lain karena pala atau rempah kebanyakan memiliki sifat antibakteri, fungisida, dan insektisida akibat kandungan kimia di dalamnya, terutama komponen isoeugenol yang merupakan insektisida alami banyak dibuktikan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Begitu banyak manfaat rempah-rempah dari Nusantara membuatnya semakin disukai bangsa Eropa bahkan komoditas pala dan cengkeh menjadi primadona.
Hingga pada tahun 1453, jatuhnya Konstantinopel membawa perubahan besar terhadap dunia. Penaklukan Konstantinopel oleh kerajaan Islam Turki Utsmani dibawah pimpinan Muhammad Al-Fatih membawa dampak terhadap jalur perdagangan Asia dan Eropa.
Aktivitas perdagangan antara kawasan Asia dan Eropa terputus akibat blokade dan monopoli perdagangan dari kesultanan Turki Utsmani saat itu, sehingga rempah dari Asia tidak bisa masuk ke Eropa. Kecintaan Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda terhadap rempah dari Negeri Timur dan ditutupnya jalur perdagangan dunia membuat bangsa Eropa terlibat persaingan untuk menemukan produsen rempah yang dirahasiakan para pedagang Arab dan Gujarat.
Pala dan cengkeh saat itu hanya tumbuh pada iklim yang spesifik yaitu di kepulauan Maluku, sebagai satu-satunya penghasil pala dan cengkeh terbaik di dunia. Impor pala dari Nusantara membuat harga pala sangat mahal karena diperlukan perjalanan jauh melewati Samudera selama berbulan-bulan yang penuh risiko.
Jika dibandingkan dengan harga saat itu, harga rempah bisa berkali kali lipat harga emas sehingga membuatnya begitu bernilai. Hal ini memicu para pedagang Eropa untuk menguasai perdagangan rempah dan mengambil keuntungan besar dengan melakukan eksplorasi samudera.
Penjelajahan samudera ini membuat bangsa Eropa menemukan banyak hal baru, hingga akhirnya turut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk perkembangan pesat navigasi laut untuk pelayaran menjelajahi dunia. Bangsa Eropa dengan kekuatan armada laut dan perkapalan yang maju seperti Portugis dan Spanyol menelusuri jalur Timur dan Barat untuk sampai ke Asia yang kemudian diiringi bangsa Eropa lain seperti Inggris, Belanda, dan Prancis.
Bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di kepulauan rempah Maluku adalah Portugis. Pada tahun 1506, Seorang Portugis bernama Lodewijk de Bartomo datang pertama kali di Nusantara dan melaporkan keadaan Maluku ke tanah asalnya. Hingga beberapa tahun kemudian orang-orang Portugis secara resmi tiba di Maluku melalui rute Utara Selat Malaka, yang mana merupakan pelabuhan tempat transit keluar masuknya perdagangan di Asia Tenggara dan kemudian sampai di pulau Banda.
Pada saat Portugis berada di kepulauan Maluku, kondisi saat itu tidak begitu baik, Kesultanan Maluku yaitu Ternate dan Tidore sedang berseteru dan bersaing ketat untuk menguasai pusat perdagangan rempah Maluku dengan membentuk kongsi dagang Uli Lima (Ternate) dan Uli Siwa (Tidore). Dalam waktu relatif singkat kedatangan Portugis kemudian disusul Spanyol yang merupakan pesaing dalam upaya menemukan kepulauan rempah.
Sesampainya di Maluku, Spanyol dapat dengan mudah mempengaruhi warga lokal, namun mengalami kesulitan menghadapi Portugis untuk mendapat kewenangan dalam menangani kepulauan Maluku seutuhnya. Keduanya saling bersaing dan berupaya memperoleh dukungan juga legitimasi dari kerajaan-kerajaan lokal, hingga akhirnya Portugis bergabung dengan Ternate dan Spanyol bergabung dengan Tidore yang menyebabkan Maluku terpecah belah.
Bangsa Eropa makin mudah menguasai Nusantara karena konflik yang banyak terjadi di antara para penguasa Nusantara. Belanda merupakan negara yang kemudian sampai di laut Banda pada tahun 1599. Ketika Belanda akhirnya menemukan pulau Banda, mereka berupaya untuk melindungi rempah-rempah dengan melakukan monopoli perdagangan dan membentuk VOC pada tahun 1602, hingga akhirnya VOC berhasil menguasai perkebunan pala dan rempah-rempah mewah Nusantara.
Terdapat tiga kekuasaan atas pulau Maluku saat itu, Ternate Utara dikuasai kerajaan Ternate, Ternate Tengah dikuasai VOC, dan Ternate Selatan juga Barat dikuasai Spanyol. Pada tahun 1663 Spanyol terpaksa meninggalkan Maluku karena harus melindungi negara jajahannya, Manila, dari serbuan bajak laut Tionghoa. Praktis menyebabkan wilayah Ternate Selatan dan Barat menjadi tidak bertuan dan hal ini kemudian dimanfaatkan Belanda untuk memperkuat keberadaannya di Maluku.
VOC semakin gencar melakukan kegiatan monopoli perdagangan, apalagi dengan perginya Spanyol membuat seluruh tata niaga rempah-rempah di daerah Maluku berada di bawah kendali penuh Kompeni. Hingga terbentuk suatu perjanjian mengenai “hak monopoli Kompeni” atas tata niaga rempah-rempah di seluruh wilayah Maluku.
Namun saat itu monopoli perdagangan rempah VOC terhalangi oleh keberhasilan Inggris menguasai salah satu pulau di Banda bernama pulau Run. Pada tahun 1797, Inggris tiba di pulau Banda dan mencanangkan kolonialisme Inggris. Saat itu Inggris hanya mampu mempertahankan pulau Run selama 4 tahun, hingga akhirnya bisa dikuasai Belanda.
Namun, tidak berhenti di situ. Inggris melakukan aksi balas dendam dengan merebut pulau Manhattan di New York yang disebut Belanda sebagai New Amsterdam sejak Prancis menduduki negeri Belanda. Hingga akhirnya kedua negara melakukan kesepakatan melalui perjanjian Breda yang mana dalam perjanjian tersebut diputuskan bahwa pulau Run yang sebelumnya dikuasai Inggris tetapi sedang diduduki Belanda menjadi milik Belanda.
Sedangkan pulau Manhattan di New York yang merupakan tanah jajahan Belanda tetapi sedang diduduki Inggris, resmi diberikan kepada Inggris. Seiring berjalannya waktu, kedua pulau saat ini memiliki nasib berbeda. Pulau Run di Banda yang diperebutkan dan dahulu sangat berjaya karena menyimpan pala layaknya harta karun kini menjadi pulau terpencil dan terlupakan akibat kemunduran perdagangan dan anjloknya harga pala.
Sedangkan di sisi lain, pulau Manhattan yang dahulu hanyalah pos dagang bulu binatang, kini menjelma menjadi kota yang paling maju di dunia bahkan menjadi salah satu pusat ekonomi global yang berada di kota New York.
Pulau Banda di Maluku hanyalah salah satu dari banyaknya jalur rempah Nusantara. Jalur rempah merupakan bagian dari khazanah budaya dan sejarah bangsa yang mana nilai-nilai istimewa di dalamnya perlu digali dan dipertahankan. Nilai-nilai yang diwariskan melalui asimilasi budaya menjadi kekayaan yang tidak tergantikan dan harus dilestarikan karena menjadi salah satu identitas bangsa.
Melihat kemunduran rempah-rempah Indonesia dan jalur-jalur rempah yang kini mulai dilupakan meski pada sejarahnya menjadi incaran berbagai bangsa, dirasa sangat memprihatinkan. Terlebih lagi, saat ini kita dihadapkan dengan tantangan dan kemajuan zaman yang mengikis eksistensi sejarah dan budaya lokal, sehingga diperlukan upaya untuk menguatkan jati diri bangsa.
Lalu bagaimana caranya agar dunia kembali menilik warisan budaya tersebut terutama jalur rempah di Maluku? Seiring perkembangan zaman, pola hidup masyarakat juga mengalami perubahan. Tren gaya hidup holistik semakin menjamur di dunia, masyarakat terdorong untuk menerapkan kebiasaan hidup sehat karena maraknya gerakan wellness.
Selain mulai memelihara kesehatan fisik dan memilih pengobatan herbal, menjaga pikiran tetap positif di era teknologi digital juga tak kalah penting untuk kesehatan jiwa. Menerapkan latihan meditasi, self healing, juga mindfulness dengan bantuan minyak atsiri mulai sering dilakukan masyarakat milenial bahkan menjadi tren yang tumbuh paling cepat di Amerika.
Minyak atsiri (Essential Oil) adalah minyak mudah menguap yang komponen utamanya adalah terpen, minyak ini dihasilkan dari cairan terkonsentrat asli yang diekstrak dari tanaman sehingga baunya sangat menyengat. Minyak atsiri juga dikenal sebagai minyak aromaterapi yang memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan tubuh.
Karakteristik dari minyak ini tidak larut dalam air, berbau harum dengan tingkat keharuman yang bertahan dari sumber tanaman dan komposisi yang terkandung di dalamnya (bervariasi mulai dari lembut/halus sampai segak menyengat), dan dihasilkan dari ekstrak berbagai macam bagian tanaman.
Seperti minyak yang dihasilkan dari akar (akar wangi, kemuning), daun (nilam, cengkeh, kayu putih, serai, kemangi), biji (pala, lada, anis, kapulaga, kasturi), buah (adas, jinten, anis, ketumbar), bunga (cengkeh, ylang-ylang, melati, mawar), kulit kayu (kayu manis, akasia, lawang), kayu (cendana, gaharu), rimpang (jahe, kunyit, lengkuas, temulawak) dan tanaman lainnya.
Kembali menilik masa ketika wabah pes di Eropa terjadi dan dipercaya sembuh karena menghirup aroma pala, merupakan satu sejarah yang membuktikan bahwa kandungan minyak atsiri sebagai aromaterapi tidak bisa diragukan. Aromaterapi merupakan penggunaan minyak atsiri dengan jalur inhalasi (dihirup), dipakai secara langsung, atau pemakaian internal dengan tujuan memelihara dan meningkatkan kesehatan baik kondisi fisik, psikologis, bahkan spiritual.
Jika dikaitkan dengan kondisi pandemi sekarang, sebagian masyarakat Indonesia banyak memanfaatkan obat herbal seperti rempah yang dipercaya dapat mencegah Covid-19. Contohnya di Maluku, sebagai emas hijau yang memiliki sumber daya alam melimpah di bidang pertanian, terutama komoditas rempah terkhusus pala dan cengkeh, masyarakat sekitar masih menjalani tradisi baukup atau bertangas (tradisi mandi atau menghirup uap panas dari rebusan ramuan rempah-rempah) yang dipercaya dapat menjadi obat berbagai penyakit termasuk sebagai upaya pencegahan Covid-19.
Tradisi baukup menggunakan rempah-rempah yang berkhasiat tinggi seperti pala, lengkuas, kayu putih, kayu manis, jahe, cengkeh, dan rempah lainnya dipercaya masyarakat sejak dahulu untuk menyembuhkan penyakit, memberikan relaksasi, mengurangi sakit kepala, mengeluarkan racun melalui keringat, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Kebiasaan masyarakat tersebut merupakan tradisi peninggalan dari sejarah dan budaya nenek moyang yang terus dijalani.
Masyarakat dahulu umumnya terbatas terhadap akses kesehatan sehingga hanya mengandalkan pengetahuan berdasarkan kearifan lokal turun temurun. Kepercayaan masyarakat bahwa tradisi baukup dapat mengobati berbagai macam penyakit sepertinya bukan lagi suatu yang dipertentangkan, dengan kemajuan ilmu pengetahuan hal ini tentunya dapat membantu membuktikan manfaatnya secara ilmiah.
Jika dilihat dari rempah-rempah yang digunakan, erat kaitannya dengan komponen minyak atsiri yang terkandung di dalamnya. Minyak atsiri mengandung komponen penyusun yang mudah menguap seperti terpen, keton, fenol, hidrokarbon, alkohol, ester, asam-asam organik, dan lainnya.
Komponen kimia yang terkandung dalam minyak atsiri tersebut memiliki manfaat sebagai obat-obatan, banyak digunakan untuk efek terapeutik yang tidak hanya memberikan efek fisiologis terhadap sistem pernapasan, otot, sendi, hormon, dan imun, namun juga memberikan efek psikologis untuk menenangkan dan mengurangi kecemasan.
Tradisi baukup dari Maluku dengan ramuan tradisional mungkin tidak dikenal oleh masyarakat modern yang tinggal di kota-kota besar, namun kearifan lokal tersebut menjadi inspirasi untuk membuat alternatif penggunaan minyak atsiri menggunakan diffuser (alat pengubah cairan minyak menjadi uap) sebagai “ramuan modern” yang mulai menjadi tren dunia saat ini untuk kesehatan sekaligus digunakan sebagai pengharum ruangan.
Hal ini menjadi peluang bahwa komoditas rempah Nusantara tetap dapat eksis dan mendorong perkembangan perdagangan internasional juga dapat membuat jalur rempah Nusantara diakui dan dikenal kembali oleh dunia, terutama Ternate di Maluku yang merupakan titik nol jalur rempah dunia.
Menurut Dewan Atsiri Indonesia, terdapat hampir 100 jenis tanaman atsiri dan 400-500 spesies tanaman rempah di Indonesia, hal ini menggambarkan betapa beruntungnya kita memiliki kekayaan alam luar biasa. Dari 150 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar internasional 40 diantaranya diproduksi di Indonesia.
Tidak mengherankan jika sejak dahulu bangsa kita menjadi salah satu pusat kebutuhan dunia apalagi rempah-rempah yang diminati bangsa Eropa banyak yang hanya tumbuh di Indonesia. Keanekaragaman hayati yang tersebar di Indonesia, mampu mengantarkan kita sebagai pemimpin pasar dunia untuk komoditas minyak atsiri khususnya minyak pala, cengkeh, nilam, dan kayu putih yang mana hanya Indonesia produsen utamanya.
Tomé Pires, seorang petualang dari Portugis, mengungkapkan dalam catatan perjalanannya bahwa "Tuhan telah menciptakan Timor sebagai surga cendana, Banda sebagai surga pala, serta Maluku sebagai surga cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat tadi, telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, dan semua orang katakan tidak."
Hal ini pun menunjukkan bahwa tidak ada bangsa lain di dunia ini yang memiliki megabiodiversitas seperti Indonesia. Oleh sebab itu, keanekaragaman hayati Indonesia merupakan aset jangka panjang yang perlu dikaji, diteliti, dan dimanfaatkan secara efektif sesuai perkembangan zaman untuk kesejahteraan bangsa dan memperkuat karakter serta ketahanan budaya nasional.
Baik di masa lalu maupun sekarang, rempah menjadi komoditas utama yang sangat penting karena mampu mempengaruhi kondisi sosial, budaya, politik, bahkan ekonomi secara global. Hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu negara pemasok minyak atsiri terbesar di dunia. Indonesia menjadi penyuplai minyak atsiri lebih dari 70% kebutuhan dunia, yang mana banyak diekspor ke Amerika, Eropa, Afrika, hingga Oceania.
Nilai ekspor minyak atsiri merupakan salah satu sumber devisa utama bagi Indonesia, di mana Compound Annual Growth Rate (CAGR) untuk ekspor tahunan minyak atsiri Indonesia selama 5 tahun terakhir, menunjukkan tren yang cenderung mengalami peningkatan akibat nilai jual minyak atsiri yang tinggi. Hingga April 2021 nilainya mencapai 84 juta USD dengan pertumbuhan tahunan sebesar 15,5%. Peningkatan ini terutama didorong oleh harga minyak atsiri yang meroket di masa pandemi Covid-19.
Salah satu komoditas minyak atsiri yang paling banyak diminati adalah minyak pala dan cengkeh yang sejak dahulu sudah diketahui memiliki kualitas terbaik di dunia. Bahkan Indonesia menjadi pemasok lebih dari 90% kebutuhan minyak pala dunia. Di mana dari total minyak pala yang ada di Indonesia, 50%-nya diproduksi dari Maluku.
Hal ini memberikan gambaran bahwa Indonesia dianugerahi tanaman rempah yang bernilai tinggi di pasar dunia. Melimpahnya sumber rempah Indonesia yang didorong nilai jual serta permintaan pasar luar negeri akan minyak atsiri yang tinggi, merupakan peluang eksportir yang menjanjikan. Potensi ekonomi minyak atsiri tidak main-main dan mampu membawa dampak positif terhadap perekonomian.
Dengan persebaran sumber daya nabati Indonesia yang melimpah maka produksi minyak atsiri kedepannya tidak hanya berfokus pada pala, cengkeh, nilam, dan kayu putih saja. Keuntungan produksi dari komoditas rempah lain seperti anis, kapulaga, lawang, serai wangi, dan tanaman lain menjadi minyak atsiri pun terbuka sangat lebar dan perlu diperhatikan agar menjadi produk unggulan.
Pada umumnya, pengrajin minyak atsiri atau UMKM masih menggunakan cara tradisional dengan peralatan sederhana dalam proses penyulingan minyak atsiri. Sehingga kualitas minyak atsiri cenderung kurang memenuhi standar nasional/internasional, adanya ketimpangan dari kualitas tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan kestabilan harga dan akan berimbas pada kurang menguntungkannya usaha pengolahan minyak atsiri.
Permasalahan industri minyak atsiri masih berkutat pada proses penanaman, teknik dan kelangsungan produksi, kualitas produk, serta belum berkembangnya industri hilir atsiri yang bernilai tambah lebih. Selama ini peningkatan mutu minyak atsiri Indonesia dilakukan di negara tujuan ekspor yang umumnya akan diolah menjadi minyak turunan atau digunakan sebagai bahan baku industri seperti industri perasa, wewangian, penguat aroma, parfum, produk rumah tangga (bahan baku sabun, deterjen), farmasi, dan oleokimia.
Perlu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut seperti adanya pendampingan petani binaan untuk teknik budidaya tanaman yang baik, pasca panen, pendampingan penyulingan tradisional, proses produksi yang didukung teknologi berstandar alih teknologi fraksinasi (pemisahan senyawa) untuk meningkatkan kemurnian, hingga pengembangan produk turunan minyak atsiri yang memiliki harga jual lebih tinggi.
Pengolahan yang sesuai dan mata rantai industri yang terintegrasi dengan baik dari hulu ke hilir akan menghasilkan perolehan minyak atsiri yang tinggi dan berkualitas. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta penyuling atsiri Indonesia. Pengembangan minyak atsiri dari rempah-rempah Nusantara melalui peningkatan produktivitas dan kualitas minyak rempah-rempah lain menjadi peluang besar yang tidak boleh dilewatkan.
Revitalisasi potensi sumber daya rempah lain menjadi minyak atsiri dapat membantu meningkatkan pemanfaatan rempah, memberdayakan para petani, meningkatkan keterampilan sumber daya manusia di bidang rempah, dan lebih jauh lagi menghidupkan eksistensi jalur-jalur rempah di Nusantara agar kembali dikenal dunia.