- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Jejak Kerja Paksa Awak Kapal Indonesia di Kapal Taiwan dalam Produk Tuna Kalengan
Laporan Investigasi Greenpeace dan SBMI
JAKARTA – Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia
dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), “Netting Profits, Risking Lives: The
Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea”, mengungkap dugaan
praktik kerja paksa dan eksploitasi finansial yang dialami para awak kapal
perikanan (AKP) migran Indonesia di kapal ikan jarak jauh berbendera Taiwan.
Laporan ini menganalisis 10 kasus berdasarkan aduan yang
diterima SBMI dari nelayan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan
berbendera Taiwan sejak 2019 hingga 2024. Tim investigasi menemukan benang
merah yang menghubungkan dugaan praktik kerja paksa di kapal dengan industri
tuna kalengan yang beroperasi di Amerika Serikat. Tim juga berhasil
mengidentifikasi adanya dugaan peran agen perekrutan di Indonesia yang turut
mendapatkan keuntungan dari penderitaan AKP migran.
“Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, saudara-saudara
kita para nelayan migran Indonesia justru menjadi korban perbudakan modern.
Permasalahan ini sudah lama terjadi, tetapi pemerintah Indonesia dan para
pemangku kepentingan lainnya terkesan tidak berupaya untuk membenahi
pelindungan, bahkan cenderung membiarkan. Pembiaran adalah pelanggaran serius
hak asasi manusia,” kata Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.
Baca Lainnya :
- Jalan Nyaman di Liburan Akhir Tahun0
- Menilik Kembali Isu Susu di Tahun 20240
- Jelang Nataru 2024/2025, Pertamina Pastikan Kebutuhan Energi Nasional Aman0
- Mengapa Rezim Assad Runtuh di Suriah dan Terjadi Begitu Cepat0
- Menjadikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (K3L) Sebagai Budaya Dalam Keseharian 0
Diluncurkan dalam rangka menyambut hari HAM Sedunia yang
jatuh pada 10 Desember, berikut sejumlah sorotan utama dari laporan ini:
Perbudakan Modern di Laut
-
AKP migran Indonesia melaporkan beragam praktik
kerja paksa menurut indikator kerja paksa Organisasi Perburuhan Internasional
(ILO), di antaranya penipuan (100%), penahanan dokumen identitas pribadi
(100%), penyalahgunaan kerentanan (92%), dan jeratan utang (92%).
Eksploitasi Finansial
-
Para nelayan migran mengaku secara ilegal
diminta membayar biaya perekrutan, sekitar USD491-US$1.950 atau
Rp7.657.039-Rp31.042.050 (kurs USD1 = Rp15.919,00), setara dengan 1-4 kali gaji
per bulan yang dijanjikan pada mereka. Hal ini bertentangan dengan ketentuan di
UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
-
Upah ditahan hingga 20 bulan, menyebabkan mereka
tak berpenghasilan dan menempatkan ekonomi keluarga mereka dalam kondisi
kritis.
-
Dalam satu kasus, seorang pekerja dengan cedera
mata tidak menerima kompensasi asuransi medis yang setara dengan nilai 25 kali
lipat gaji per bulannya.
Perikanan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak
Diatur (IUU Fishing)
-
Enam dari 12 kapal berbendera Taiwan terindikasi
melakukan kegiatan IUU Fishing, di antaranya berupa transshipment ilegal,
beroperasi tanpa izin di luar yurisdiksi yang semestinya, dan menangkap ikan di
kawasan konservasi.
-
Transshipment, atau pemindahan muatan di tengah
laut, kerap dibarengi dengan mematikan sistem AIS (Automatic Identification
System) kapal untuk menyembunyikan aktivitasnya.
-
Para nelayan juga melaporkan praktik shark
finning yang secara global sudah dilarang secara masif, di mana sirip hiu
dipotong dan tubuh hiu dibuang kembali ke laut.
Keterlibatan Merek Global
-
Empat kapal teridentifikasi terhubung dengan
merek tuna kalengan Amerika Serikat (AS), Bumble Bee, yang dimiliki oleh
perusahaan bisnis tuna Taiwan, FCF. Kapal-kapal ini adalah Chaan Ying, Guan
Wang, Shin Lian Fa No. 168, dan Sheng Ching Fa No. 96.
-
Kapal-kapal tersebut tercatat memasok hasil
tangkapan ke Bumble Bee sebanyak beberapa kali dan selama beberapa
tahun–mengindikasikan relasi bisnis yang langgeng di antara kedua belah pihak.
Selama satu dekade terakhir, Greenpeace Indonesia dan SBMI
telah bekerja sama dalam mengungkap dugaan praktik pelanggaran hak pekerja ini
dan mendorong pemerintah Indonesia melakukan perbaikan. Laporan ini merupakan
seri ketiga dari laporan investigasi serupa yang terbit pada 2019 dan 2021.
Greenpeace Asia Tenggara dan SBMI mendesak pemerintah
Indonesia, Taiwan, dan AS untuk mengambil langkah konkret, yakni memperketat
kebijakan dan regulasi industri perikanan; memastikan korporasi bertanggung
jawab atas praktik tidak manusiawi dan tidak berkelanjutan; menyediakan
perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk mekanisme
pengaduan yang efektif dan transparan; serta membangun industri seafood global
yang adil, manusiawi, dan lestari.
“Temuan yang terungkap dalam laporan ini bisa jadi adalah
fenomena gunung es. Oleh sebab itu, Greenpeace dan SBMI akan terus melakukan
investigasi guna mengungkap lebih banyak sisi kelam industri perikanan global.
Tujuannya tentu untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih adil, lebih
manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi masa depan para nelayan, konsumen, dan
laut kita,” kata Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia
Tenggara. (rel)