- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Menggelorakan Penyadaran Tata Kelola Sawit yang Berkeadilan
Hendri Irawan
Pemimpin Redaksi porosbumi.com
Baca Lainnya :
- Indonesia: Kerja dan Tidur0
- Stranas PK: Potensi Kerugian Negara Rp1,2 Triliun Per Bulan Dari Subsidi Listrik Tak Tepat Sasaran0
- Jejak Cakar Singa Raksasa Sigiriya, Situs Arkeologi Paling Penting di Sri Lanka0
- Dewan Pakar GSN: Urusan Air, Pemda Jakarta Butuh Sinergi Dengan Pemerintah Pusat0
- Sekjen KPA: Pemberantasan Mafia Tanah dan Penyelesaian Konflik Agraria Jangan Hanya Gertak Sambal0
PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto akan mengejar ratusan pengemplang pajak yang telah membuat negara kehilangan potensi penerimaan Rp300 triliun. Yang mengejutkan, 300 pengusaha itu disebut-sebut bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit.
Pemberitaan yang membanjiri laman media massa Tanah Air mencuat setelah adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo berdiskusi dengan para pengusaha di gedung Kadin Indonesia, Jakarta, awal Oktober 2024 lalu. Menurut Hasyim, daftar ratusan pengemplang pajak itu diperoleh oleh Prabowo dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan serta Kepala BKPK Muhammad Yusuf Ateh, dan dikonfirmasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Ini ada indikasi pengusaha yang nakal, ini data yang Pak Prabowo dapat dari Pak Luhut dan Pak Ateh dan dikonfirmasi dari KLHK ada jutaan hektar kawasan hutan diokupasi liar oleh pengusaha kebun sawit nakal, ternyata sudah diingatkan tapi sampai sekarang belum bayar," ujar Hasyim dikutip dari pemberitaan CNBC Indonesia, 9 Oktober 2024.
"Sampai Rp300 triliun yang belum bayar, ini data-data yang dihimpun pemerintah. So saat ini Pak Prabowo siap kita sudah dapat daftar 300 lebih, saya tidak lihat kawan-kawan Kadin di dalam daftar itu. Saya tidak lihat tapi akan saya cek lagi, nanti ada peringatan bersahabat, friendly reminder please pay up," ungkap Hashim.
Angka Rp300 triliun adalah nilai yang sangat besar. Dan jika benar faktanya, terlebih jika dana itu bisa dihimpun, tentu akan menambah pundi-pundi kas negara yang menurut laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani kinerja APBN hingga Juli 2024 mencatat defisit Rp93,4 triliun.
Namun sebelum jauh berandai-andai Rp300 triliun tersebut berhasil dihimpun dan kebermanfaatannya nanti untuk apa, ada baiknya ditilik sedikit tentang kenyataan usaha kelapa sawit bagi Indonesia belakangan ini. Menurut Analis Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (PKPN BKF Kemenkeu) Nursidik Istiawan, kontribusi industri sawit ke APBN 2023 mencapai kurang lebih Rp88 triliun dengan rincian penerimaan dari sektor pajak Rp50,2 triliun, PNBP Rp32,4 triliun, dan Bea Keluar sebesar Rp6,1 triliun.
Nursidik juga menyebutkan, nilai kapasitas produksi nasional industri kelapa sawit 2023 diperkirakan sebesar Rp729 T. APBN juga berperan dalam mendukung kontribusi industri sawit dengan menyediakan fasilitas perpajakan antara lain berupa tax allowance dan pembebasan bea masuk. Berbagai kebijakan pemerintah ini juga ditujukan untuk mendorong hilirisasi nasional.
“Untuk pungutan Bea Keluar itu memang kita gunakan untuk dalam rangka hilirisasi. Mendorong agar semakin hilir produk yang dihasilkan itu semakin kita bisa memperoleh manfaat,” kata Nursidik saat berdiskusi dengan para wartawan nasional bertajuk Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian di Belitung, Agustus 2024.
Industri sawit Indonesia tercatat dapat menghasilkan lebih dari 179 produk hilir. Selain produk utama minyak kelapa sawit dan inti sawit yang dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, hilirisasi sawit juga telah menghasilkan produk turunan seperti kosmetik, pakaian, pasta gigi, lemak cokelat, fatty acid, surfactant, hingga biodesel yang meningkatkan nilai tambah perekonomian dan daya saing global.
Hilirisasi adalah proses atau strategi suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki. Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya diekspor dalam bentuk mentah menjadi barang setengah jadi atau jadi. Selain pengunaan dalam negeri, saat ini produk kelapa sawit juga telah diekspor ke lebih 160 negara. menyatakan 58% produksi CPO Indonesia diekspor dengan dominasi ekspor produk turunan yang mengindikasikan keberhasilan kebijakan hilirisasi.
Tak hanya itu, sektor sawit di Indonesia saat ini telah melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja. Sektor ini juga telah mendorong PDB di sektor perkebunan pada angka yang positif di Triwulan II 2024 di 3.25%, sehingga PDB Indonesia di Triwulan II 2024 bertumbuh positif.
Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Maulizal Sutawijaya menjelaskan betapa pentingnya komoditas kelapa sawit bagi Indonesia. Sebab jika kelapa sawit di Indonesia terhenti bukan hanya industri yang terkena dampaknya, tapi juga petani.
“Kami sudah menyiapkan strategi kampanye positif di Uni Eropa. Ini sekaligus untuk mengimbangi opini terkait sawit yang masih negatif di kalangan masyarakat dan pengambil kebijakan di Eropa,” jelas Maulizal saat menjadi pembicara Serial Kebijakan Sawit : Kupas Tuntas Regulasi Perkelapa Sawitan Indonesia di Jakarta, 30 April 2024.
Memperbaiki Tata Kelola Sawit Nasional
Dinobatkan sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, tidak serta merta menjadikan tata kelola sawit di Indonesia bisa dibanggakan. Faktanya, dalam tiga dekade terakhir perkebunan kelapa sawit ditengarai sebagai penyebab deforestasi terbesar. Bahkan, ironisnya banyak lokasi perkebunan sawit yang mencaplok kawasan hutan selama belasan hingga puluhan tahun.
Berdasarkan rilis Strategi Nasional (Stranas) Pemberantasan Korupsi, sampai dengan tahun 2023, luas lahan perkebunan sawit yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 16,83 juta hektare (Ha). Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan menjadi lima provinsi dengan luas lahan sawit terbesar. Dan sekurangnya sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit berada dalam kawasan hutan.
Salah satu penyebab terjadinya tumpang tindih kebun sawit dalam kawasan hutan adalah tidak adanya sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan tata guna lahan. Kewenangan pemberian izin lokasi dan izin perkebunan ada di kabupaten dan provinsi, sedangkan izin pelepasan kawasan hutan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Minimnya pengawasan perizinan menyuburkan praktik fraud dan potensi korupsi dalam hal perizinan sawit.
Pembenahan tata kelola sawit bukanlah pekerjaan yang semudah menjentikkan jari. Stranas PK mendorong sejumlah pembenahan “tatakan” mulai dari pengukuhan kawasan hutan, rencana tata ruang dan batas administrasi sebagai dasar untuk perbaikan mekanisme perizinan, khususnya perizinan perkebunan sawit.
Tidak ada lagi kompromi, Stranas PK menetapkan target 100% untuk kawasan hutan di seluruh Indonesia ditetapkan serta seluruh provinsi memiliki RTRW Provinsi di akhir tahun 2024. Hal ini akan mempermudah untuk mengurai kusutnya tumpang tindih dalam tata kelola sawit.
Selain itu, Stranas PK juga mendorong sisi pengawasan tata kelola sawit dengan melakukan evaluasi terkait Penilaian Usaha Perkebunan (PUP), baik dari sisi regulasi maupun tata kelolanya serta mendorong penguatan dan pemanfaatan Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (Siperibun).
Terkait penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, Stranas PK berfokus pada perkebunan sawit yang dikelola korporasi. Berdasarkan hasil kalkulasi Stranas PK, potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari pengenaan denda administratif Pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja atas kebun sawit dalam kawasan di 5 Provinsi piloting Stranas PK mencapai 30,4 triliun rupiah. Hasil analisis Stranas PK tersebut telah disampaikan kepada Satgas Sawit yang dibentuk oleh Presiden, untuk mendukung proses percepatan penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.
KLHK juga melakukan identifikasi terhadap sawit korporasi yang ada dalam kawasan hutan. Sekitar 2130 unit perusahaan teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan dan akan dikenakan Pasal 110A/110B. Jika disandingkan dengan analisis Stranas PK di 11 provinsi, masih terdapat perbedaan subyek/korporasi maupun luasan sawit dalam kawasan hutan. Stranas PK menekankan agar data faktual hasil kajian di lapangan yang dikumpulkan di 5 piloting provinsi dapat memperkaya data yang dimiliki pihak KLHK.
Pencegahan korupsi dalam hal tata ruang dilakukan dengan penyelarasan tata ruang, kawasan hutan dan batas administrasi di seluruh Indonesia serta mempermudah proses perizinan dengan mengintegrasikan RDTR dan Online Single Submission (OSS). Untuk periode pelaksanaan aksi pencegahan korupsi tahun 2023-2024, perbaikan yang telah berhasil dicapai adalah sekitar 85% dari total 125,6 juta Ha kawasan hutan telah ditetapkan, dan sebanyak 14 provinsi sudah menetapkan RTRW yang terintegrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Mendorong Pembentukan Badan Sawit Nasional
Sawit merupakan salah satu komoditas non-migas yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Menurut proyeksi Kementerian Perindustrian, nilai keekonomian kelapa sawit dari hulu hingga hilir akan mencapai Rp775 triliun pada tahun 2024, meningkat dari Rp750 triliun pada tahun 2023.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengharapkan adanya perbaikan dalam tata kelola industri sawit di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Perbaikan ini diharapkan dapat membuat regulasi lebih sederhana dan berdampak positif pada peningkatan produktivitas kebun dan produksi sawit nasional secara terukur.
Ketua Umum Gapki, Eddy Martono, menyampaikan bahwa salah satu harapan utama dari pelaku usaha adalah penyederhanaan tata kelola industri sawit dari hulu hingga hilir. “Jangan ada kebijakan yang tumpang tindih antar kementerian,” tegas Eddy, dilansir dari laman gapki.id, Kamis (10/10/2024).
Saat ini, terdapat 37 kementerian dan lembaga yang terlibat dalam pengelolaan industri sawit di Indonesia. Eddy mengusulkan agar di masa depan pemerintah bisa menyederhanakan regulasi dengan membentuk Badan Sawit Nasional yang langsung berada di bawah Presiden. Badan ini diharapkan mampu mengelola data secara komprehensif, mulai dari produksi, konsumsi, penanaman, hingga perizinan.
Industri sawit dan petani telah lama mendorong pembentukan Badan Sawit Nasional untuk mengelola sektor ini secara independen dan lebih efektif. Dengan adanya badan ini, pengelolaan data sawit akan menjadi lebih lengkap dan memadai, memungkinkan target dan realisasi peningkatan produksi sawit dapat diukur dengan lebih baik. Indonesia dianggap terlambat dalam pembentukan lembaga independen semacam ini, mengingat Malaysia sudah lebih dari 24 tahun memiliki Malaysian Palm Oil Board (MPOB) yang mengelola sektor sawit mereka.
Saat ini, wacana pembentukan Badan Sawit Nasional sudah memasuki tahap kajian akademik di Universitas Indonesia. Banyak pihak, termasuk petani sawit, optimistis bahwa Badan Sawit Nasional akan terbentuk di era pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan adanya Badan Sawit Nasional, diharapkan tata kelola industri sawit Indonesia dapat lebih terintegrasi dan efektif, membantu meningkatkan produktivitas dan daya saing sawit Indonesia di pasar global.
Sejatinya, usulan pembentukan badan sawit nasional merupakan komitmen Gapki dalam mendukung program Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran. Lembaga ini juga bisa menjadi motor dalam mewujudkan ketahanan pangan, serta mendukung program yang berkaitan dengan investasi, hilirisasi sawit, penyerapan tenaga kerja, dan penyelesaian gas rumah kaca.
“Itu konteksnya ke sana, sehingga Gapki memikirkan untuk mendukung Asta Cita tersebut perlu ada fokus yaitu membentuk badan sawit nasional. Apakah badan sawit nasional ini badan baru atau penguatan, itu adalah kewenangan pemerintah,” kata Wakil Ketua Umum III Gapki, Satrija B Wibawa.
Menguji Keseriusan Pemerintah
Belum lama ini, sejumlah organisasi yang bergerak di bidang lingkungan mengeluarkan rilis tentang kekecewaan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan.
“Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya. Saya merasa lelah dan sedih karena selama saya berjuang tidak ada dukungan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” kata Hendrikus Woro.
Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke MA karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dan PTTUN Manado menolak gugatan serta bandingnya. Gugatan yang diajukan Hendrikus Woro tersebut menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit ini mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro—bagian dari suku Awyu.
“Ini menjadi kabar duka kesekian bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat. Perjuangan menyelamatkan hutan adat Papua akan lebih berat apalagi dengan pemerintahan hari ini yang berambisi membabat hutan di Papua Selatan untuk food estate,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua.
“Hutan Papua adalah rumah bagi keanekaragaman hayati. Saat banyak orang di dunia sedang membahas bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati global dari kepunahan, seperti yang berlangsung di COP16 CBD Kolombia saat ini, kita justru mendapat berita buruk makin terancamnya keanekaragaman hayati dan masyarakat adat di Tanah Papua,” imbuh Sekar Banjaran Aji.
Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA atas kasus PT IAL ini bisa jadi akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi PT KCP dan PT MJR.
Sebelumnya, saat menunggu kasus PT IAL diadili oleh MA, masyarakat adat Awyu mendapat petisi dukungan sebanyak 253.823 tanda tangan dari publik yang diserahkan langsung ke MA pada 22 Juli 2024 lalu. Saat itu publik Indonesia di media sosial ramai-ramai membahas perjuangan suku Awyu, yang puncaknya muncul tagar #AllEyesOnPapua. Sayangnya, dukungan publik untuk perjuangan itu tak cukup mengetuk pintu hati para hakim.
“Kami berharap dan meminta publik dapat terus mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang berjuang mempertahankan tanah dan hutan adat. Ini adalah bagian dari agenda penegakan hukum pelindungan hak-hak masyarakat adat, yang telah dijamin dalam aturan lokal, nasional, dan internasional, sekaligus perjuangan melindungi Bumi dari pemanasan global. Masyarakat adat adalah penjaga alam tanpa pamrih dan Papua bukan tanah kosong!” kata Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.
Sejatinya, masyarakat adat Awyu tetap berhak atas hutan adat mereka–yang telah ada bersama mereka secara turun-temurun sejak pertama mereka menempati wilayah adat. Pada prinsipnya kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah, sebab jelas ada pemilik hak adat yang belum melepaskan haknya.
Putusan MA yang menolak permohonan kasasi masyarakat adat Awyu dalam upaya mempertahankan hutan adatnya dari ekspansi korporasi sawit di Boven Digoel, Papua Selatan, menambah deretan kabar buruk bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang berjuang di meja hijau melawan ancaman perusakan lingkungan hidup oleh perusahaan sawit.
Tapi semoga, dengan tata kelola usaha sawit yang lebih baik dan keseriusan pemerintahan Presiden Prabowo menindak tegas pengusaha sawit yang melanggar aturan terutama yang mengemplang pajak, usaha sawit di Tanah Air akan lebih banyak lagi memberi kontribusi bagi negara, menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia .