KPA: Mekanisme PPTPKH Menjebak Petani Dalam Pusaran Konflik Agraria

By PorosBumi 25 Nov 2024, 06:29:38 WIB Nadi Negeri
KPA: Mekanisme PPTPKH Menjebak Petani Dalam Pusaran Konflik Agraria

CILACAP - Tawaran penyelesaian konflik agraria melalui skema Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) merupakan jebakan bagi petani yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya dari “klaim” kawasan hutan. Alih-alih memulihkan hak petani atas tanah secara utuh, skema ini justru akan membuat petani semakin terperangkap dalam pusaran konflik agraria berkepanjangan.

“Pasalnya, dalam kesepakatan yang ditawarkan pihak Perhutani dan Kementerian Kehutanan, penyelesaian konflik ini hanya berisikan persetujuan untuk pelepasan permukiman, fasilitas umun dan fasilitas sosial. Sementara lahan pertanian dan tanah garapan petani lainnya tidak diikutsertakan dan dipaksa menerima tawaran Perhutanan Sosial,” ujar Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam siaran persnya, Kamis (21/11/2024).

Dewi Kartika menyampaikan, sejarah telah menunjukkan bagaimana ketidakadilan dan korupsi di sektor kehutanan melalui Perhutanan Sosial atau dulu dikenal dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). “Artinya, kebijakan Menteri Kehutanan kali ini tidak akan mengurai konflik agraria yang selama ini dihadapi oleh petani. Dengan begitu, petani lagi-lagi tidak berdaulat atas lahan pertanian yang menjadi satu-satu sumber produksi tempat menggantungkan hidup mereka selama ini,” kata dia.

Baca Lainnya :

“Di sisi lain, dengan menyetujui tawaran ini, petani mengakui lahan pertanian mereka memang benar merupakan kawasan hutan. Padahal tujuan perjuangan mereka adalah bagaimana membebaskan tanah mereka dari klaim hutan akibat kesalahan kebijakan di masa lalu,” imbuh Dewi Kartika.

Dewi Kartika lalu mencontohkan nasib yang dialami warga desa Rawaapu dan Cimrutu, Kecamatan Patimuan, yang belum lama ini didatangi pihak Perhutani bersama perwakilan Kementerian Kehutanan, pemerintah kecamatan dan pemerintah desa dengan dikawal polisi-TNI. Di mana, pada Selasa (19/11), rombongan Perhutani ini memasang beberapa patok batas (klaim) wilayah kehutanan yang hanya berjarak 40-50 cm dari permukiman warga desa.

Pihak perhutani dan rombongan mengklaim bahwa wilayah yang dipasang patok tersebut telah terdaftar dalam kelompok tani hutan (KTH). KTH yang dimaksud ini adalah kelompok tani yang dibentuk Perhutani dua minggu lalu. Waktu itu, Perum Perhutani mengumpulkan warga yang berada di Desa Rawaapu dan Cimrutu. Setelahnya, pihak pemerintahan Desa Rawaapu dan Cimrutu mendesak agar para petani mengisi formulir dari Perhutani.

Formulir tersebut merupakan kesepakatan penyelesaian konflik kehutanan dengan masyarakat. Para petani Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap menolak tawaran tersebut, sebab tidak sesuai seperti apa yang diperjuangkan selama ini sehingga tidak menyelesaikan konflik agraria dan mengakui hak atas tanah petani secara utuh. Apalagi wilayah tersebut merupakan permukiman dan tanah pertanian yang telah diusulkan menjadi prioritas penyelesaian konflik melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).

Para petani STaM telah melayangkan surat penolakan penyelesaian konflik agraria dengan skema PPTPKH tersebut kepada Kementerian Kehutanan, Rabu (20/11). Dalam suratnya, petani STaM menegaskan LPRA yang berada dalam klaim kawasan hutan harus diredistribusi dan diselesaikan konfliknya dalam kerangka Reforma Agraria Sejati. Artinya harus ada pelepasan dan pengakuan secara utuh, yakni pemukiman, tanah pertanian, fasum dan fasos.

“Permintaan ini bukan tanpa sebab, karna para petani telah tinggal, bertani, dan bergenerasi sejak tahun 1967. Melalui proses advokasi yang mereka tempuh, terdapat Surat Keputusan (SK) No: 420/KPTS/Um/1981 yang mengatur penyelesaian konflik agraria di tanah mereka. Surat ini memutuskan pengeluaran kawasan hutan yang telah menjadi sawah seluas 5.776, 23 hektar tersebar di Kabupaten Cilacap. Sejak 2016, wilayah ini telah berada di meja Kementerian ATR/BPN sebagai salah satu prioritas penyelesaian konflik agrarian,” tutur Dewi.

LPRA yang berada di dua desa ini dihuni oleh 3.390 rumah tangga tani dengan luas 2.192 hektar. Artinya kebijakan serampangan pihak Perhutani ini akan berdampak dan mengancam kehidupan lebih dari 10 ribu jiwa. Wilayah ini adalah salah satu lumbung pangan di Jawa Tengah. Bulan Mei tahun 2023 lalu, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni yang waktu itu masih berstatus Wamen ATR/BPN turut hadir dalam panen raya yang dilaksanakan para petani.

“Atas situasi di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebagai induk organisasi dari Serikat Tani Cilacap (STaM) mengecam tindakan yang dilakukan Perhutani dan Kementerian Kehutanan. Mendesak berbagai pihak membatalkan pemasangan tanda batas dan/atau penetapan kawasan hutan di atas LPRA usulan KPA bersama serikat tani,” tegas Dewi.

“KPA juga mendesak berbagai pihak untuk melepaskan tanah pertanian, perumahan dan seluruh desa dari Kawasan Hutan untuk diredistribusikan kepada petani melalui kerangka reforma agraria serta mengevaluasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta yang melakukan pemasangan tanda batas kawasan hutan terhadap tanah petani dan segera melaksanakan reforma agraria sejati di atas-atas tanah “klaim” kehutanan dan Perhutani,” pungkasnya.

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment