- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
KPA: Mekanisme PPTPKH Menjebak Petani Dalam Pusaran Konflik Agraria
CILACAP - Tawaran penyelesaian konflik agraria melalui skema
Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH)
merupakan jebakan bagi petani yang sedang memperjuangkan hak atas tanahnya dari
“klaim” kawasan hutan. Alih-alih memulihkan hak petani atas tanah secara utuh,
skema ini justru akan membuat petani semakin terperangkap dalam pusaran konflik
agraria berkepanjangan.
“Pasalnya, dalam kesepakatan yang ditawarkan pihak Perhutani
dan Kementerian Kehutanan, penyelesaian konflik ini hanya berisikan persetujuan
untuk pelepasan permukiman, fasilitas umun dan fasilitas sosial. Sementara
lahan pertanian dan tanah garapan petani lainnya tidak diikutsertakan dan
dipaksa menerima tawaran Perhutanan Sosial,” ujar Sekretaris Jendral Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam siaran persnya, Kamis (21/11/2024).
Dewi Kartika menyampaikan, sejarah telah menunjukkan
bagaimana ketidakadilan dan korupsi di sektor kehutanan melalui Perhutanan
Sosial atau dulu dikenal dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). “Artinya,
kebijakan Menteri Kehutanan kali ini tidak akan mengurai konflik agraria yang selama
ini dihadapi oleh petani. Dengan begitu, petani lagi-lagi tidak berdaulat atas
lahan pertanian yang menjadi satu-satu sumber produksi tempat menggantungkan
hidup mereka selama ini,” kata dia.
Baca Lainnya :
- Menko AHY: Bendungan Sidan, Proyek Strategis untuk Atasi Defisit Air di Wilayah SARBAGITA0
- Sejumlah Ruas Jalan Tol Trans Sumatera Tahap II Mulai Konstruksi0
- Direktorat Buflo Kementan-ASPAI Finalisasi Buku Pedoman Budidaya Anggur 0
- Sukses Kurangi Pestisida, CEO Astra Agro Lestari Diganjar Penghargaan Tempo dan IDN0
- Desa Energi Berdikari di Indramayu Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi0
“Di sisi lain, dengan menyetujui tawaran ini, petani
mengakui lahan pertanian mereka memang benar merupakan kawasan hutan. Padahal
tujuan perjuangan mereka adalah bagaimana membebaskan tanah mereka dari klaim
hutan akibat kesalahan kebijakan di masa lalu,” imbuh Dewi Kartika.
Dewi Kartika lalu mencontohkan nasib yang dialami warga desa
Rawaapu dan Cimrutu, Kecamatan Patimuan, yang belum lama ini didatangi pihak
Perhutani bersama perwakilan Kementerian Kehutanan, pemerintah kecamatan dan
pemerintah desa dengan dikawal polisi-TNI. Di mana, pada Selasa (19/11),
rombongan Perhutani ini memasang beberapa patok batas (klaim) wilayah kehutanan
yang hanya berjarak 40-50 cm dari permukiman warga desa.
Pihak perhutani dan rombongan mengklaim bahwa wilayah yang
dipasang patok tersebut telah terdaftar dalam kelompok tani hutan (KTH). KTH
yang dimaksud ini adalah kelompok tani yang dibentuk Perhutani dua minggu lalu.
Waktu itu, Perum Perhutani mengumpulkan warga yang berada di Desa Rawaapu dan
Cimrutu. Setelahnya, pihak pemerintahan Desa Rawaapu dan Cimrutu mendesak agar
para petani mengisi formulir dari Perhutani.
Formulir tersebut merupakan kesepakatan penyelesaian konflik
kehutanan dengan masyarakat. Para petani Serikat Tani Mandiri (STaM) Cilacap
menolak tawaran tersebut, sebab tidak sesuai seperti apa yang diperjuangkan
selama ini sehingga tidak menyelesaikan konflik agraria dan mengakui hak atas
tanah petani secara utuh. Apalagi wilayah tersebut merupakan permukiman dan
tanah pertanian yang telah diusulkan menjadi prioritas penyelesaian konflik
melalui Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA).
Para petani STaM telah melayangkan surat penolakan
penyelesaian konflik agraria dengan skema PPTPKH tersebut kepada Kementerian
Kehutanan, Rabu (20/11). Dalam suratnya, petani STaM menegaskan LPRA yang
berada dalam klaim kawasan hutan harus diredistribusi dan diselesaikan
konfliknya dalam kerangka Reforma Agraria Sejati. Artinya harus ada pelepasan
dan pengakuan secara utuh, yakni pemukiman, tanah pertanian, fasum dan fasos.
“Permintaan ini bukan tanpa sebab, karna para petani telah
tinggal, bertani, dan bergenerasi sejak tahun 1967. Melalui proses advokasi
yang mereka tempuh, terdapat Surat Keputusan (SK) No: 420/KPTS/Um/1981 yang
mengatur penyelesaian konflik agraria di tanah mereka. Surat ini memutuskan
pengeluaran kawasan hutan yang telah menjadi sawah seluas 5.776, 23 hektar
tersebar di Kabupaten Cilacap. Sejak 2016, wilayah ini telah berada di meja
Kementerian ATR/BPN sebagai salah satu prioritas penyelesaian konflik agrarian,”
tutur Dewi.
LPRA yang berada di dua desa ini dihuni oleh 3.390 rumah
tangga tani dengan luas 2.192 hektar. Artinya kebijakan serampangan pihak
Perhutani ini akan berdampak dan mengancam kehidupan lebih dari 10 ribu jiwa.
Wilayah ini adalah salah satu lumbung pangan di Jawa Tengah. Bulan Mei tahun
2023 lalu, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni yang waktu itu masih berstatus
Wamen ATR/BPN turut hadir dalam panen raya yang dilaksanakan para petani.
“Atas situasi di atas, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
sebagai induk organisasi dari Serikat Tani Cilacap (STaM) mengecam tindakan
yang dilakukan Perhutani dan Kementerian Kehutanan. Mendesak berbagai pihak membatalkan
pemasangan tanda batas dan/atau penetapan kawasan hutan di atas LPRA usulan KPA
bersama serikat tani,” tegas Dewi.
“KPA juga mendesak berbagai pihak untuk melepaskan tanah
pertanian, perumahan dan seluruh desa dari Kawasan Hutan untuk
diredistribusikan kepada petani melalui kerangka reforma agraria serta mengevaluasi
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta yang
melakukan pemasangan tanda batas kawasan hutan terhadap tanah petani dan segera
melaksanakan reforma agraria sejati di atas-atas tanah “klaim” kehutanan dan
Perhutani,” pungkasnya.