- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
HARGA KARET: Berpotensi Stabil di Atas US$2 Pada 2017
Bisnis.com, JAKARTA- -Proyeksi berkurangnya suplai berpotensi membuat harga karet pada 2017 stabil di atas level US$2 per kilogram, meskipun sisi permintaan diprediksi datar.
Departemen Pencegahan dan Mitigasi Bencana Thailand memaparkan, 12 provinsi mengalami hujan lebat dan terkena banjir. Termasuk di dalamnya sejumlah wilayah perkebunan dan pariwisata.
Thailand merupakan eksportir karet terbesar di dunia. Sekitar 387.000 ha lahan pertanian mengalami kerusakan, termasuk di dalamnya 4,6% perkebunan karet. Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures, mengatakan cuaca hujan memang berhasil mengerek harga karet dalam beberapa waktu ke depan. Namun, cuaca kering juga bisa menjadi masalah.
Baca Lainnya :
- Jaga Harga, Bulog Harus Berperan di Sisi Distribusi0
- APTRI: Bulog Belum Bisa Stabilkan Harga Gula0
- PG Candi Baru Mampu Produksi Gula 33 Ribu Ton per Tahun0
- Petani Tebu Nilai Bulog Tak Bisa Stabilkan Harga Gula0
- Ini Penampakan Mutiara RI Terbaik di Dunia0
Musim hujan yang diperkirakan meredup pada akhir Januari menandai awal musim dingin kering di Thailand dan bakal berlangsung hingga pertengahan April. Saat itu, pohon karet merontokkan daunya dan berhenti memproduksi lateks. Selain masalah cuaca, secara fundamental pasar komoditas membaik akibat tren pengurangan suplai yang dimulai pada 2016. Misalnya rencana pemangkasan produksi minyak dari OPEC dan non anggota dan pembatasan penambangan batu bara di China.
Adanya kesepakatan antara International Tripartite Rubber Council (ITRC), yakni kelompok negara penghasil karet yang terdiri dari pemerintah Thailand, Malaysia, dan Indonesia memangkas kapasitas ekspor atau Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) mulai Maret -- Desember 2016 juga memberikan dampak positif terhadap harga.
Di bawah perjanjian AETS, tiga negara yang memasok 60% kebutuhan karet global akan memotong total ekspornya sebanyak 700.000 ton. Kesepakatan pengurangan produksi berdampak kuat terhadap harga, karena butuh waktu tujuh tahun untuk menyiapkan panen lateks. Ketika harga anjlok dan petani tidak merasa untung menanam pohon, maka pemulihan produksi masih cukup berat.
"Faktor berkurangnya suplai membuat harga karet mengalami penguatan. Korelasi karet dengan harga minyak juga lumayan kuat, sehingga ada pengaruhnya," tuturnya kepada Bisnis.com. Pemotongan pasokan minyak mentah membuat harga karet sintetis, sebagai produk alternatif karet alam, mengalami peningkatan. Tingginya harga bahan baku mendorong produsen ban beralih kepada karet alam.
Meski apik akibat faktor suplai, sisi permintaan karet diperkirakan stagnan yang sejalan dengan permintaan dari industri mobil. Berdasarkan data MIDF Research, harga karet menunjukkan kenaikan signifikan sejak September 2016. Faktor utama yang mendorong reli harga ialah peningkatan permintaan kendaraan bermotor di China.
Peningkatan pembelian kendaraan didukung oleh kebijakan pemerintah China yang menerapkan pemotongan pajak pembelian kendaraan bermotor berkapasitas mesin 1,6 liter dari 10% menjadi 5%. Alhasil permintaan karet alam sebagai bahan baku ban turut bertumbuh.
Menurut data China Passenger Car Association (PCA), penjualan kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin 1,6 liter dan di bawahnya telah meningkat 20% setiap bulannya setelah peraturan tersebut berlaku mulai 30 September 2015. Namun, pemotongan pajak berakhir pada Desember 2016.
"Sisi permintaan mungkin flat, tapi karena suplai kurang, sentimen terhadap komoditas membaik, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi global membuat harga karet berpotensi naik," tutur Wahyu. Wahyu memprediksi, pada 2017 harga karet akan bertahan di atas US$2 per kg. Bila terkoreksi, maka harga akan memantul kembali ke atas level tersebut.
Meski proyeksi karet terbilang positif, lanjutnya, belum bisa dibilang harga berada dalam tren bullish. Pasalnya, komoditas tersebut menembus area US$4-US$6 per kg. "Bila sampai di atas US$4, harga akan konsolidasi, dan potensi jatuh bila mendekati US$6," paparnya.
sumber : market.bisnis.com