- Petani Sawit di Lebak Wujudkan Ketahanan Pangan dengan Padi Gogo
- PNBP Pasca Produksi Tingkatkan Penerimaan Negara dan Akurasi data Perikanan Tangkap
- KKP Ragamkan Potensi Mangrove di Pangandaran Jadi Lokasi Eduwisata
- Sambut Libur Nataru, Menteri PU Tinjau Jalan Tol Fungsional Gending-Krasaan
- Dosen Ilkom UNY Beri Pelatihan Pelayanan Prima Bagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok
- Kota dan Perkara Makan
- Libur Nataru 2025: Pertamina NRE Jamin Pasokan Energi Ramah Lingkungan
- Tonggak Baru Menuju Kemandirian Pangan 2025
- Epic Sale 2024: Sinergi Pemerintah dan Ritel Jaga Stabilitas Harga Pangan
- Perpustakaan: Berita dan Nostalgia
Kota dan Perkara Makan
Joko Priyono
Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Menulis Buku
Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar
pada Sains (2022)
Baca Lainnya :
- Perpustakaan: Berita dan Nostalgia0
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak0
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'0
- Jadah Tempe, Makanan Tradisional Khas Kaliurang Kegemaran Sultan0
- DIY Boyong Emas Anugerah Kebudayaan Indonesia 20240
SATU hal yang erat dengan
pertumbuhan kota adalah makan. Makan tak sebatas rutinitas mengenyangkan perut,
namun kehadirannya telah mengubah identitas dan kebudayaan seseorang.
Kota sebagai ruang urban mudah mempertemukan ekses
pariwisata, modal, hingga kepentingan agaknya melahirkan cara pandang
tersendiri akan makan. Kemudahan menemukan ragam makanan untuk menghadirkan
pilihan pada lidah tak memungkiri akan hadirnya perubahan pada proses kultural
terhadap makan.
Seseorang yang berada di kota, tempat di mana bermukim
ketika dikunjungi kawannya dari daerah lain mungkin masih kebingungan jika
memikirkan makan. Ia harap cemas dalam menyusun daftar menu maupun tempat yang
direncanakan untuk dijadikan tempat bersama kawannya tersebut. Alasannya tentu
mendasar, seorang pengunjung akan terngiang jika makan di sebuah kota
tertentu—yang terasakan di lidahnya adalah representasi dari kota tersebut.
Sepuluh tahun bermukim di Kota Solo, saya mendapati kutukan
tersebut. Dengan masih kelimpungan pada persoalan makan, baik jenis dan
tempatnya yang perlu dihadirkan jika ada teman dari daerah lain sejenak
bersinggah maupun berkunjung. Makin hari, memang kita dirundung kesamaran
mengenai identitas, tak terkecuali mengenai makanan. Tak ada batas lagi,
terlebih cakupan wawasan yang ditopang oleh teknologi digital.
Jika saya menyebut Kota Solo direpresentasikan dengan sate
kambing, bagi sebagian orang mungkin setuju. Akan tetapi, banyak pihak yang
mengelaknya, dengan alasan misal, tanpa ke Solo pun sate kambing mudah
didapatkan. Kesamaran itu menguatkan esai Qaris Tajudin “Dunia di Atas Meja”
(Majalah Tempo edisi 28 Oktober – 3 November 2024). Ia memang
mengungkapkan, “yang tersisa adalah makanan” sebagai penegasan, baginya,
makanan bisa menjadi benteng terakhir budaya.
Lebih dari Makan
Jikapun benar makanan masih dapat berkelit kelindan pada
identitas dan budaya, kelihatannya ada hal lain yang perlu diteroka dari makan
itu sendiri. Tiada lain mengenai masalah serius dari pergulatan setiap orang di
atas meja makan. Puisi garapan Afrizal Malna berjudul “Biografi di Atas Meja
Makan” di dalam buku Yang Terdiam dalam Mikrofon (Omah Sore, 2009)
kiranya sedikit memberi pengantar.
Ia menulis: Orang biasa makan di meja/ Piring dan gelas
seperti lembaran kain, menyimpan setiap dugaan dan kesimpulan/ Segala kaleng,
kaca dan besi memperlihatkan dirimu di situ//. Dari beberapa larik puisi
yang dibuat pada 1990 tersebut, Afrizal nampak memberi makna tersirat bagaimana
ada kisah yang tergurat dari peristiwa makan. Kontekstualisasi dari hal
tersebut, penting kiranya kita menyoal akan fakta bahwa satu masalah besar yang
kita hadapi adalah limbah sisa makanan.
Menjadi kemafhuman dan dinormalisasi saat makanan tak habis
lalu dibuang ke tempat sampah. Padahal di balik itu keberadaannya merupakan
masalah besar bagi peradaban manusia dan keberlangsungan hidup di Bumi. Benar
saja, penulis asal Madura, M Faizi mencurahkan keresahaannya melalui buku Merusak
Bumi dari Meja Makan (Cantrik Pustaka, 2020). Di buku tersebut, ia mengajak
refleksi kembali atas pola kebiasan membuang sisa makanan dengan tinjauan
ekologi, teologi, dan rasionalitas.
M Faizi mengajukan keterangan, “Saat ini jumlah manusia di
bumi telah mencapai 7 miliar lebih. Jumlah ini akan terus bertambah sedangkan
produksi bahan pangan dan lahan pertanian terus berkurang. Kalaupun ada teroka
baru, maka alam liar harus dibabat dan itu artinya akan menciptakan masalah
baru; deforestasi, penyeragaman hingga hancurnya keanekaragaman hayati, dan
masalah-masalah lainnya.”
Kota dan Makan
Satu tema besar di pemerintahan Presiden Prabowo adalah
makan, melalui program unggulan makan bergizi gratis. Apa hubungannya dengan
masalah limbah sisa makanan? Pendidikan formal perlu bertanggung jawab dalam
memberikan pencerahan bagi kalangan murid akan arti pentingnya makan. Kebiasaan
yang dilatih akan menjadi modal berharga untuk mematri kesadaran akan artinya
makan dengan tidak menyia-nyaiakannya.
Jika merunut data, Harian Kompas (19 Mei 2022) pernah
menurunkan liputan yang menjelaskan akumulasi sampah makanan di Indonesia
senilai Rp330 triliun dan setiap tahun, satu orang membuang sampah makanan
seharga Rp2,1 juta. Masalah tersebut menggejala di kota-kota besar maupun
metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya, hingga Medan. Sementara di Kota Solo,
Harian Solopos (28 Juni 2024) memberitakan bahwa sampah makanan
mendominasi dengan jumlah 60 %, dengan jumlah 142,3 ton dalam sehari.
Kota Solo, meski kecil tak sebagaimana nama-nama kota
metropolitan menjadi satu wilayah yang terus menghadapi tantangan mengenai
sampah makanan. Betapa pun, kota adalah ruang urban yang mudah berubah pada
aspek kebudayaannya. Pada pidato kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta tahun
2021, Merlyna Lim mengetengahkan perubahan pola keterhubungan terhadap makan
dan sikap belanja terjadi sejak orang mengenal lemari es.
Mereka bertumbuh pada semangat untuk menumpuk bahan makanan,
dengan dalih dapat awet untuk beberapa hari ke depan. Meskipun demikian, ada
persepsi yang mengubah identitas. Menumpuk makanan juga menyumbang sampah sisa
makanan yang akhirnya bermuara di tempat sampah. Pembentukan identitas itu
tentu akan berbeda dengan kesadaran berangkat ke pasar untuk tujuan belanja
guna kebutuhan di hari itu juga.
Hal yang terkadang aneh juga ketika mengamati tempat makan
yang menyediakan konsep prasmanan atau lazim dikenal “Pokwe”—Njupuk Dhewe.
Pelayanan makan yang membebaskan pengunjung mengambil makanan sesuai dengan
porsinya. Namun, pengalaman saya di Kota Solo, masih kerap saya amati makanan
yang tersisa di atas piring. Di kota tak ada pilihan selain dibuang ke tempat
sampah, tak seperti ingatan saya di kampung halaman—diberikan ke hewan ternak.
Di Karangasem, Laweyan, saya kerap menemui kecemasan ketika
pagi hari menyaksikan petugas Dinas Lingkungan Hidup menenteng kresek yang
berisi sampah makanan untuk diangkut melalui truk menuju tempat pembuangan
akhir. Saat itu saya sadar, makan bukan sebatas persoalan selera, gizi, dan
kenyang—namun pikiran jauh ke depan. Bahwa begitu berharganya makanan dari
ritus orang berada di atas meja makan itu kemudian hanya menjadi tumpukan
sampah. (*)