Kota dan Perkara Makan

By PorosBumi 23 Des 2024, 19:34:46 WIB Tilikan
Kota dan Perkara Makan

Joko Priyono

Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022)

 

Baca Lainnya :

SATU hal yang erat dengan pertumbuhan kota adalah makan. Makan tak sebatas rutinitas mengenyangkan perut, namun kehadirannya telah mengubah identitas dan kebudayaan seseorang.

Kota sebagai ruang urban mudah mempertemukan ekses pariwisata, modal, hingga kepentingan agaknya melahirkan cara pandang tersendiri akan makan. Kemudahan menemukan ragam makanan untuk menghadirkan pilihan pada lidah tak memungkiri akan hadirnya perubahan pada proses kultural terhadap makan.

Seseorang yang berada di kota, tempat di mana bermukim ketika dikunjungi kawannya dari daerah lain mungkin masih kebingungan jika memikirkan makan. Ia harap cemas dalam menyusun daftar menu maupun tempat yang direncanakan untuk dijadikan tempat bersama kawannya tersebut. Alasannya tentu mendasar, seorang pengunjung akan terngiang jika makan di sebuah kota tertentu—yang terasakan di lidahnya adalah representasi dari kota tersebut.

Sepuluh tahun bermukim di Kota Solo, saya mendapati kutukan tersebut. Dengan masih kelimpungan pada persoalan makan, baik jenis dan tempatnya yang perlu dihadirkan jika ada teman dari daerah lain sejenak bersinggah maupun berkunjung. Makin hari, memang kita dirundung kesamaran mengenai identitas, tak terkecuali mengenai makanan. Tak ada batas lagi, terlebih cakupan wawasan yang ditopang oleh teknologi digital.

Jika saya menyebut Kota Solo direpresentasikan dengan sate kambing, bagi sebagian orang mungkin setuju. Akan tetapi, banyak pihak yang mengelaknya, dengan alasan misal, tanpa ke Solo pun sate kambing mudah didapatkan. Kesamaran itu menguatkan esai Qaris Tajudin “Dunia di Atas Meja” (Majalah Tempo edisi 28 Oktober – 3 November 2024). Ia memang mengungkapkan, “yang tersisa adalah makanan” sebagai penegasan, baginya, makanan bisa menjadi benteng terakhir budaya.

Lebih dari Makan

Jikapun benar makanan masih dapat berkelit kelindan pada identitas dan budaya, kelihatannya ada hal lain yang perlu diteroka dari makan itu sendiri. Tiada lain mengenai masalah serius dari pergulatan setiap orang di atas meja makan. Puisi garapan Afrizal Malna berjudul “Biografi di Atas Meja Makan” di dalam buku Yang Terdiam dalam Mikrofon (Omah Sore, 2009) kiranya sedikit memberi pengantar.

Ia menulis: Orang biasa makan di meja/ Piring dan gelas seperti lembaran kain, menyimpan setiap dugaan dan kesimpulan/ Segala kaleng, kaca dan besi memperlihatkan dirimu di situ//. Dari beberapa larik puisi yang dibuat pada 1990 tersebut, Afrizal nampak memberi makna tersirat bagaimana ada kisah yang tergurat dari peristiwa makan. Kontekstualisasi dari hal tersebut, penting kiranya kita menyoal akan fakta bahwa satu masalah besar yang kita hadapi adalah limbah sisa makanan.

Menjadi kemafhuman dan dinormalisasi saat makanan tak habis lalu dibuang ke tempat sampah. Padahal di balik itu keberadaannya merupakan masalah besar bagi peradaban manusia dan keberlangsungan hidup di Bumi. Benar saja, penulis asal Madura, M Faizi mencurahkan keresahaannya melalui buku Merusak Bumi dari Meja Makan (Cantrik Pustaka, 2020). Di buku tersebut, ia mengajak refleksi kembali atas pola kebiasan membuang sisa makanan dengan tinjauan ekologi, teologi, dan rasionalitas.

M Faizi mengajukan keterangan, “Saat ini jumlah manusia di bumi telah mencapai 7 miliar lebih. Jumlah ini akan terus bertambah sedangkan produksi bahan pangan dan lahan pertanian terus berkurang. Kalaupun ada teroka baru, maka alam liar harus dibabat dan itu artinya akan menciptakan masalah baru; deforestasi, penyeragaman hingga hancurnya keanekaragaman hayati, dan masalah-masalah lainnya.”

Kota dan Makan

Satu tema besar di pemerintahan Presiden Prabowo adalah makan, melalui program unggulan makan bergizi gratis. Apa hubungannya dengan masalah limbah sisa makanan? Pendidikan formal perlu bertanggung jawab dalam memberikan pencerahan bagi kalangan murid akan arti pentingnya makan. Kebiasaan yang dilatih akan menjadi modal berharga untuk mematri kesadaran akan artinya makan dengan tidak menyia-nyaiakannya.

Jika merunut data, Harian Kompas (19 Mei 2022) pernah menurunkan liputan yang menjelaskan akumulasi sampah makanan di Indonesia senilai Rp330 triliun dan setiap tahun, satu orang membuang sampah makanan seharga Rp2,1 juta. Masalah tersebut menggejala di kota-kota besar maupun metropolitan, seperti Jakarta, Surabaya, hingga Medan. Sementara di Kota Solo, Harian Solopos (28 Juni 2024) memberitakan bahwa sampah makanan mendominasi dengan jumlah 60 %, dengan jumlah 142,3 ton dalam sehari.

Kota Solo, meski kecil tak sebagaimana nama-nama kota metropolitan menjadi satu wilayah yang terus menghadapi tantangan mengenai sampah makanan. Betapa pun, kota adalah ruang urban yang mudah berubah pada aspek kebudayaannya. Pada pidato kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2021, Merlyna Lim mengetengahkan perubahan pola keterhubungan terhadap makan dan sikap belanja terjadi sejak orang mengenal lemari es.

Mereka bertumbuh pada semangat untuk menumpuk bahan makanan, dengan dalih dapat awet untuk beberapa hari ke depan. Meskipun demikian, ada persepsi yang mengubah identitas. Menumpuk makanan juga menyumbang sampah sisa makanan yang akhirnya bermuara di tempat sampah. Pembentukan identitas itu tentu akan berbeda dengan kesadaran berangkat ke pasar untuk tujuan belanja guna kebutuhan di hari itu juga.

Hal yang terkadang aneh juga ketika mengamati tempat makan yang menyediakan konsep prasmanan atau lazim dikenal “Pokwe”—Njupuk Dhewe. Pelayanan makan yang membebaskan pengunjung mengambil makanan sesuai dengan porsinya. Namun, pengalaman saya di Kota Solo, masih kerap saya amati makanan yang tersisa di atas piring. Di kota tak ada pilihan selain dibuang ke tempat sampah, tak seperti ingatan saya di kampung halaman—diberikan ke hewan ternak.

Di Karangasem, Laweyan, saya kerap menemui kecemasan ketika pagi hari menyaksikan petugas Dinas Lingkungan Hidup menenteng kresek yang berisi sampah makanan untuk diangkut melalui truk menuju tempat pembuangan akhir. Saat itu saya sadar, makan bukan sebatas persoalan selera, gizi, dan kenyang—namun pikiran jauh ke depan. Bahwa begitu berharganya makanan dari ritus orang berada di atas meja makan itu kemudian hanya menjadi tumpukan sampah. (*)

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment